Senin, 03 Juni 2013

Merantau dari kompasiana

Pagi ini kumendengar sebuah lagu. Sebuah lagu orisinil koleksi sang pagi yang enggan meninggalkan malam. Tak ada musik mengiringi. Yang terdengar hanyalah sahut-sahutan bermacam-macam senandung yang berbeda tipis diantara tiap konsonannya, namun disiplin dalam urutan rimanya. Sulit sekali menirukan senandung-senandung itu. Tapi kira-kira bunyinya begini: “noug…oggg…noug…oggg..noug…”, melantun tiada tepi.
Di dalam sepi pagi yang dingin tanpa angin, pelantunnya seakan ingin mengingatkan betapa mereka tak lama lagi akan tiada. Segera aku terdiam. Menyadari potensi nyatanya hal itu, aku tak ingin menyiakan kesempatan. Barangkali ini kesempatan terakhir, pikirku, setidaknya di kampungku, tempat dimana lima tahun lagi baru akan kuinjak kembali. Berharap akan kutemukan mereka di tempat lain nun jauh di kota penuh sesak bangunan-bangunan raksasa rasanya cuma spekulasi yang amat bodoh. Maka inilah kemudian yang kulakukan: Duduk di sebuah batu di antara celah selokan-selokan, mendengarkan dengan seksama irama lagu itu. Dalam beberapa tusukan hawa dingin, aku terkesima. Meski cuma terdengar “noug” dan “oggg” berulang-ulang, tak berubah-ubah, tapi mereka bernyanyi tanpa kenal lelah. Bukan cuma “noug” dan “oggg”, sebetulnya. Masih ada lagi senandung-senandung yang lain yang kalau semakin didengarkan akan semakin sia-sia karena yang akan terdengar cuma seperti “noug” dan oggg”.
Dan tahukah kau bahwa katak-katak ini sungguh disiplin dalam berlantun? Tiap mereka dibagi tugas. A melantunkan “noug”, B melantunkan “oggg”, C “oug”, D “ngouggg”, E entah apalagi, F dan seterusnya juga entah bagaimana. Semua melodi ada urutannya, tak boleh terbalik, tak boleh salah urutan. Maka setiap pelantun tak boleh sampai salah. Mereka menerapkan hukuman bagi yang salah urutan atau salah lantunan. Bagi yang salah akan dikejar oleh pelantun-pelantun yang lain dan diberi hukuman tak boleh ikut bernyanyi lagi.

“Katak-katak genius,” gumamku terharu, “belum pernah aku menemukan lantunan lagu seperti ini–kecuali di sini, di tempat ini, di kampungku, dengan sedikit pengaruh kegilaanku tentu saja. Meski mungkin suara kalian tak seceria kicau burung yang akan terdengar beberapa jam lagi, tapi bagiku, setidaknya bagiku, kalian tak kalah dalam hal mengajarkanku tentang integritas, tentang keteguhan, seperti halnya tiap hewan yang aku kenali. Orang-orang itu tak mengerti kalian. Mereka cuma akan mendekat untuk kemudian membunuh dan menguliti kalian. Lihat! Mereka melewati pagi demi pagi meringkuk seperti cacing yang telah mati. Ah, mati! Aku masygul mendengar kata itu. Terutama jika ia menghampiri kalian semua yang tak berdaya di sini. Juga teman-teman pagiku yang lain yang menemaniku setiap pagi aku mencari penghasilan: kalong, burung hantu, tikus, sampai semua burung-burung pagi yang mengiringi kayuhku ke pasar, menamaniku memungut sampah-sampah berharga untuk tambahan biaya sekolahku hingga aku bisa tamat. Tuhan, jauhkanlah ‘mati’ dari teman-temanku ini.”
***
Aku akan pergi ke ibukota. Mengadu nasib, mencoba peruntungan. Aku akan sangat merindukan kalian, setidaknya sampai lima tahun ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar