Senin, 03 Juni 2013

Merantau dari kompasiana

Pagi ini kumendengar sebuah lagu. Sebuah lagu orisinil koleksi sang pagi yang enggan meninggalkan malam. Tak ada musik mengiringi. Yang terdengar hanyalah sahut-sahutan bermacam-macam senandung yang berbeda tipis diantara tiap konsonannya, namun disiplin dalam urutan rimanya. Sulit sekali menirukan senandung-senandung itu. Tapi kira-kira bunyinya begini: “noug…oggg…noug…oggg..noug…”, melantun tiada tepi.
Di dalam sepi pagi yang dingin tanpa angin, pelantunnya seakan ingin mengingatkan betapa mereka tak lama lagi akan tiada. Segera aku terdiam. Menyadari potensi nyatanya hal itu, aku tak ingin menyiakan kesempatan. Barangkali ini kesempatan terakhir, pikirku, setidaknya di kampungku, tempat dimana lima tahun lagi baru akan kuinjak kembali. Berharap akan kutemukan mereka di tempat lain nun jauh di kota penuh sesak bangunan-bangunan raksasa rasanya cuma spekulasi yang amat bodoh. Maka inilah kemudian yang kulakukan: Duduk di sebuah batu di antara celah selokan-selokan, mendengarkan dengan seksama irama lagu itu. Dalam beberapa tusukan hawa dingin, aku terkesima. Meski cuma terdengar “noug” dan “oggg” berulang-ulang, tak berubah-ubah, tapi mereka bernyanyi tanpa kenal lelah. Bukan cuma “noug” dan “oggg”, sebetulnya. Masih ada lagi senandung-senandung yang lain yang kalau semakin didengarkan akan semakin sia-sia karena yang akan terdengar cuma seperti “noug” dan oggg”.
Dan tahukah kau bahwa katak-katak ini sungguh disiplin dalam berlantun? Tiap mereka dibagi tugas. A melantunkan “noug”, B melantunkan “oggg”, C “oug”, D “ngouggg”, E entah apalagi, F dan seterusnya juga entah bagaimana. Semua melodi ada urutannya, tak boleh terbalik, tak boleh salah urutan. Maka setiap pelantun tak boleh sampai salah. Mereka menerapkan hukuman bagi yang salah urutan atau salah lantunan. Bagi yang salah akan dikejar oleh pelantun-pelantun yang lain dan diberi hukuman tak boleh ikut bernyanyi lagi.

“Katak-katak genius,” gumamku terharu, “belum pernah aku menemukan lantunan lagu seperti ini–kecuali di sini, di tempat ini, di kampungku, dengan sedikit pengaruh kegilaanku tentu saja. Meski mungkin suara kalian tak seceria kicau burung yang akan terdengar beberapa jam lagi, tapi bagiku, setidaknya bagiku, kalian tak kalah dalam hal mengajarkanku tentang integritas, tentang keteguhan, seperti halnya tiap hewan yang aku kenali. Orang-orang itu tak mengerti kalian. Mereka cuma akan mendekat untuk kemudian membunuh dan menguliti kalian. Lihat! Mereka melewati pagi demi pagi meringkuk seperti cacing yang telah mati. Ah, mati! Aku masygul mendengar kata itu. Terutama jika ia menghampiri kalian semua yang tak berdaya di sini. Juga teman-teman pagiku yang lain yang menemaniku setiap pagi aku mencari penghasilan: kalong, burung hantu, tikus, sampai semua burung-burung pagi yang mengiringi kayuhku ke pasar, menamaniku memungut sampah-sampah berharga untuk tambahan biaya sekolahku hingga aku bisa tamat. Tuhan, jauhkanlah ‘mati’ dari teman-temanku ini.”
***
Aku akan pergi ke ibukota. Mengadu nasib, mencoba peruntungan. Aku akan sangat merindukan kalian, setidaknya sampai lima tahun ke depan.

basic demand HMI (masih diedit)


BASIC DEMAND HMI :
TELA’AH 66 TAHUN HMI DALAM MEMBANGUN BANGSA

      I.        Daftar isi – 1
     II.        Indonesia kita – 2
    III.        Seperti kita – 3
        (Sejarah Pertarungan Indonesia KITA )
    IV.        Baju kita – 16
        (Barisan juang KITA)
     V.        Menuju permadani – 37
        (menuju peradaban madani)

















INDONESIA KITA

Sekalipun Islam merupakan agama bagi golongan terbesar penduduk Indonesia, namun para tokoh pendiri bangsa tidak merujuk kepada sumber-sumber ajaran dan sejarah Islam untuk wawasan mereka tentang “negara-bangsa”. Beberapa tokoh pelopor pertama nasionalisme modern seperti Haji Omar Said Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim, dengan bekal perlengkapan metodologi yang mereka
peroleh dari sekolah-sekolah Belanda, menunjukkan kemampuan cukup besar untuk memahami esensi komunitas nasional terbuka dan egaliter partisipatif. Tetapi selain mengalami kesulitan dalam usaha menyatakan pokok-pokok pikiran itu dalam kerangka cara pandang moderm dengan idiom-idiom dan jargon-jargonnya sendiri yang relevan, Tjokro dan Salim juga menghadapi kenyataan bahwa tidak ada satupun negara dalam lingkungan “dunia Islam” yang merupakan wujud kontemporer komunitas nasional terbuka dan egaliter partisipatif. Yang ada ialah justeru model-model kekuasaan totaliter, despotik, dan zalim. baik yang kerajaan maupun yang secara formal merupakan negara republik. Maka dalam hal “modern national community building”, para tokoh Indonesia tidak melihat contohnya dari yang ada di lingkungan “dunia Islam”, tetapi justru dari lingkungan “dunia barat”. Pendidikan modern telah membantu mereka memahami konsep-konsep nasionalisme modern, yang berlawanan dengan konsep-konsep kekuasaan para raja feodal yang selama ini mereka kenal.

Tentang sistem presidensial
Para tokoh pendiri negara kita merupakan komunitas intelektual modern Indoneseia angkatan pertama, dan akses mereka kepada dunia pemikiran modern telah dengan kuat sekali mewarnai gagasan-gagasan mereka tentang masalah kebangsaan dan ke­ne­garaan, serta tentang cara penye­lenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan. Kutipan-kutipan dari karya para pemikir Barat bertaburan dalam tulisan-tulisan para tokoh itu. Pikiran-pikiran politik John Locke, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Montesquieu, Rousseau, Rénan, dan lain-lain, juga ideologi-ideologi Karl Marx, Friesdrich Engels, Lenin, Sun Yat Sen, sangat mempengaruhi pikiran-pikiran para pendiri bangsa. Mereka itu tidak berasal hanya dari kalangan yang secara salah kaprah disebut “nasionalisme sekuler” seperti Sukarno, Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir, tetapi juga dari kalangan yang disebut “nasionalis Islam” seperti Haji Omar Said Tjokroaminoto, Haji Agus Salim dan Muhammad Natsir. Titik temu mereka semua ialah aspirasi demokrasi modern. Mereka menguasai bahasa-bahasa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Jerman—selain bahasa Belanda—sehingga wawasan mereka menjadi lebih kaya dan luas dengan bahan-bahan dari berbagai sumber.
Disebabkan oleh beberapa segi perkembangan sejarahnya, Amerika Serikat dengan Presiden Franklin Delano Roosevelt selaku tokoh utamanya saat itu, harus diakui telah menjadi rujukan utama dibanding dengan negara-negara lain. Roosevelt, yang oleh majalah-majalah internasional edisi millennium yang lalu dipandang sebagai pribadi paling berpengaruh selama abad yang lalu (disusul oleh Mahatma Gandhi dan lain-lain), adalah seorang anti imperialisme dan kolonialisme. Ia mempunyai cita-cita membangun kembali dunia yang bebas dari penjajahan, setelah Perang Dunia II. Roosevelt adalah tokoh terpenting di balik konferensi di Bretton Woods, New Hampshire, 1994. Dalam konferensi Bretton Woods itu diputuskan untuk mendirikan badan “Dana Moneter Interna­sional” (IMF) dan Bank Interna­sional untuk Pembangunan Kembali dan Pengembangan (IBRD, International Bank for Reconstruction and Development, yang lebih dikenal sebagai “Bank Dunia”). Lepas dari kinerja nyata kedua badan keuangan interna­sional itu yang akhir-akhir ini menjadi sasaran kecaman pedas berbagai kalangan, Roosevelt harus diingat sebgai tokoh yang bermaksud menggunakannya untuk tujuan-tujuan politik global yang lebih mulia, yaitu membangun kembali dunia yang bebas dari kolonialisme dan imperialisme, setelah Perang Dunia II. Seandainya sempat dilaksanakan, pembangun­an kembali dunia itu akan sama dengan model Marshall Plan, 1947, untuk Eropa, “a highly successful program of U.S. economic and technical assistance to 16 European countries, to permit them to restore their productive capacity after the disruption of World War II.” Tetapi Roosevelt tidak sempat melak­sanakan niatnya, karena ia me­ninggal mendadak pada awal jabatan kepresidenannya yang keempat (12 April 1945), dan digantikan oleh wakilnya, Harry. S. Truman.
Sedikit cuplikan sejarah mutakhir Amerika itu cukup penting dikemukakan, karena berpengaruh besar sekali kepada pertumbuhan awal negara Indo­nesia. Presiden Truman adalah penguasa Amerika yang memu­tuskan untuk membuat bom atom dengan proyek penelitian super rahasia, “Manhattan Project” di Universitas Chicago yang dipimpin oleh Enrico Fermi. Setelah berhasil dibuat, bom itu ia perintahkan untuk dijatuhkan di atas dua kota industri Jepang padat penduduk, Hiroshima dan Nagasaki. Tindakan itu dicatat dalam sejarah kemanusiaan sebagai tragedi yang sampai sekarang belum ada tolak bandingannya, suatu pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang tiada taranya. Banyak orang berspekulasi bahwa kekejaman itu tidak akan pernah terjadi. Tetapi apapun penilaian orang, kenyataan ironis telah terjadi, yaitu bahwa peristiwa jatuhnya bom atom atas dua kota di Jepang itu telah membuka peluang untuk dipro­klamasikannya kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, puncak perjuangan bangsa yang telah lama dinanti-nanti.
Truman juga meninggalkan masalah yang ikut menyulitkan Indonesia. Menurut banyak kalangan, ia dianggap paling bertanggung jawab atas terjadinya eskalasi perang dingin antara “Barat” dan “Timur” sesudah Perang Dunia II. Dalam hal ini pun banyak orang berpendapat, sean­dainya saat itu Roosevelt masih hidup, mungkin perang dingin tidak akan separah akibat kebijakan Truman. Walaupun begitu, sisa-sisa kebijakan Roosevelt banyak yang bertahan. Amerika, bersama dengan Australia (pemerintahan Partai Buruh), tergolong negara-negara Barat yang banyak membantu kemerdekaan Indonesia. Ketika pada 10 November 1945 kota Surabaya dibombardir oleh tentara Inggris dan Belanda, Amerika dan Australia adalah dua negara Barat yang aktif menghalangi atau melerai.
Karena penampilan dan komi­tmen Roosevelt yang mengesankan, beberapa tokoh pendiri negara Indonesia cukup banyak mendapat ilham dari pengalaman Amerika saat itu dalam hal negara dan seni kenegaraan (state and statecraft). Selain memilih bentuk republik, para tokoh Indonesia juga menyadari perlunya dirumuskan dengan jelas nilai-nilai asasi kenegaraan dalam dokumen utama Negara. Nilai-nilai asasi itu mereka rumuskan menjadi dasar-dasar negara yang kemudian disebut Pancasila, yang tertuangkan dalam dokumen primer Republik Indonesia, suatu dokumen yang dirancang sebagai naskah Deklarasi Kemerdekaan. Meskipun akhirnya, karena beberapa sebab, tidak digunakan sesuai rencana semula – dan Deklarasi Kemerdekaan diganti dengan Proklamasi Kemerdekaan yang naskahnya ditulis Bung Karno secara tergesa-gesa – namun se­mangat dokumen primer itu di­per­ta­hankan dan kini menjadi Mu­kadimah Undang-Undang Dasar. Dengan mencontoh Amerika, para pendiri negara juga merancang pelaksanaan demokrasi dengan pemerintahan presidensial periodik. Mereka juga menganut prinsip pluralisme, dan berpegang kepada asas kebebasan-kebebasan menya­takan pendapat, berkumpul dan berserikat. Keseluruhan wawasan itu juga telah menjadi semangat umum setiap UUD yang pernah di­miliki Republik sepanjang seja­rahnya sampai sekarang, seperti UUD RIS dan UUDS, selain UUD 1945 sendiri, yang sekarang ini berlaku.

Tentang sistem parlementer
Dengan adanya Proklamasi, suatu deretan eksperimen melaksanakan pikiran-pikiran kenegaraan para founding father itu dimulai. Tetapi ternyata bahwa mereka membentur tembok logika diplomasi internasional pasca Perang Dunia II. Indonesia adalah “milik” pihak yang kalah, yaitu Jepang, karena itu harus diserahkan kembali kepada pihak pemenang, yaitu Sekutu, sebagai “harta rampasan perang”. Percobaan melaksanakan pikiran-pikiran kenegaraan “revolusioner” itu berlangsung hanya tiga bulan, untuk kemudian diganti, secara terpaksa, dengan sistem lain yang oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai presiden dan wakil presiden simbolik, tanpa kekuasaan, dan Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, pemegang kekuasaan yang sebenarnya. Dalam salah satu tulisannya sebelum kemerdekaan, Bung Karno mengecam habis sistem parlementer sebagai sistem yang menguntungkan golongan berduit dari kalangan borjuis, dan menindas rakyat.
Tujuan penggantian sistem presidensial menjadi sistem parlementer itu memang telah menghasilkan suatu terobosan diplomatik. Didahului oleh perundingan Roem-Roiyen yang menghasilkan Konferensi Meja Bundar, untuk penyerahan resmi kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia, akhirnya, pada 27 Desember 1949, kemerdekaan Indonesia mendapat pengakuan resmi internasional. Namun begitu, penerapan sistem parlementer telah menimbulkan berbagai masalah nasional, yang bersumber dari ketidakstabilan negara dan pemerintahan yang silih berganti dalam jangka waktu pendek. Sebegitu jauh, penampilan terbalik “demokrasi liberal” parlementer itu adalah pada saat pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, seorang tokoh Masyumi pengikut Muhammad Natsir, yang pada tahun 1955 berhasil melaksanakan pemilihan umum pertama dalam sejarah Republik Indonesia, suatu pemilihan umum yang sangat sukses. Di luar itu, sistem parlementer lebih banyak menyulitkan bangsa dan negara.

Tentang demokrasi terpimpin
Keadaan serba tidak menentu dari sistem parlementer mendorong Bung Karno, Presiden (konstitu­sional) saat itu, mengumumkan dekrit kembali ke UUD ’45  pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu disusul dengan pidato kenegaraan 17 Agustus 1959 berjudul “Menemukan Kembali Revolusi Kita”, yang populer dengan terjemah Inggrisnya, “Rediscovery of Our Revolution”. Bagi Bung Karno, yang dimaksudkan “menemukan kembali revolusi kita” dapat diringkaskan berupa pemerintahan yang kembali ke sistem presidensial dari sistem parlementer. Sejak itu Presiden, dalam hal ini Bung Karno, bukan lagi sekedar lambang negara, melainkan kepala peme­rintahan. Sistem presidensial di­harapkan dapat menghasilkan pemerintahan yang kuat, stabil dan berwibawa. Dengan begitu pembangunan nasional dapat dijalankan dengan mantap, seperti halnya Amerika yang berhasil menjadi negara industri modern pertama di dunia berkat kestabilan sistem presidensial.
Tetapi Bung Karno agaknya menyalahpahami dan men­cam­pur­adukan pengertian “pemerintahan yang kuat” dengan “kepemimpinan yang kuat”. “Pemerintahan” lebih mengacu kepada sistem, sedangkan “ke­pe­mimpinan” mengacu kepada per­orangan. Karena pandangannya itu, Bung Karno mengubah sistem presidensial periodik lima tahunan menjadi sistem kepresidenan seumur hidup. Kemudian Bung Karno tidak lagi memandang dirinya cukup sebagai kepala pemerintahan atau ketua badan eksekutif negara, melainkan sebagai “pemimpin besar revolusi”. Peme­rintahan presidensial periodik yang seharusnya dilaksanakan dengan mencontoh dan mengem­bangkan sistem serupa yang sudah mapan di dunia, ia ubah menjadi “demokrasi terpimpin”. Beberapa partai politik yang dipersatukan oleh platform demokrasi modern adalah Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Parkindo dan Partai Katolik, didukung beberapa pribadi tokoh kalangan NU dan PNI, dan dengan restu Bung Hatta, membentuk gerakan “Liga Demokrasi” guna menggalang kekuatan politik untuk mencegah dan menghalangi Bung Karno meluncur ke lembah kediktatoran. Sebab, rakyat mulai merasa kehilangan kebebasan sipilnya dan ekonomi merosot sampai hampir membangkrutkan Negara. Politik grandiose Bung Karno dengan, misalnya, ambisinya hendak mengganti PBB, Olimpiade, dan lain-lain, ikut memperburuk keadaan ekonomi bangsa hingga terasa tidak tertahankan lagi oleh rakyat. Dalam keadaan seperti itulah Bung Karno pada tahun 1965 jatuh in disgrace - lepas dari persoalan siapa sebenarnya yang berperan dalam proses penjatuhan itu, adil ataupun tidak adil. Sistemnya yang kemudian disebut “Orde Lama” harus memberi jalan kepada sistem lain yang disebut “Orde Baru”.
Jatuhnya Bung Karno in disgrace banyak diratapi tidak saja oleh bangsa Indonesia sendiri, tetapi juga oleh bangsa-bangsa lain di seluruh dunia, khususnya “Dunia Ketiga”. Sebab Bung Karno adalah bapak sebenarnya Republik Indonesia merdeka, dan pejuang besar untuk membebaskan bangsa-bangsa terjajah. Namun tanpa sedikitpun mengurangi penghargaan kepada putera terbesar bangsa Indonesia itu, kita harus menarik pelajaran dari kelemahan manusiawi Bung Karno untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kepada Allah Swt. kita panjatkan sebaik-baik harapan dan do’a untuk Bung Karno, bapak kita semua.


Indonesia Kita (II)






Presiden Suharto (Jendral Purna­wirawan TNI), pengganti Presiden Sukarno, adalah seorang pribadi yang secara unik merupakan gabungan antara penampilan lahiri yang lembut, hampir malu-malu, dengan sikap batin dan kemauan yang keras, hampir-hampir tidak kenal kompromi. Pak Harto menghela bangsa Indonesia keluar dari kepengapan sistem “Orde Lama” yang menyesakkan napas, menuju sistem “Orde Baru” yang men­janjikan perbaikan. Namun sayang, ternyata Pak Harto adalah campuran aneh antara segi-segi amat positif dan segi-segi amat negatif. Ia cukup rendah hati untuk menyadari dan mengakui bahwa ia tidak akan mengetahui segala-galanya berkenaan dengan ke­hidupan kenegaraan, khususnya perpolitikan dan perekonomian. Maka ia mengelilingi dirinya dengan sekelompok tenaga ahli yang merupakan golongan terdidik terbaik pada masa itu. Ia juga nampak sebagai orang yang suka belajar dan kecerdasan alamiahnya menjadikannya seorang yang cepat mengerti dan menguasai persoalan.
Kecerdasan alamiah Pak Harto itu juga membuatnya menjadi seorang ahli taktik dan strategi yang sangat piawai. Hal itu dibuktikan oleh kemampuannya bertahan dalam kekuasaan selama lebih dari tigapuluh tahun, tanpa gejolak gawat seperti yang dialami Presiden Sukarno selama enam tahun setelah Dekrit 5 Juli 1959. Tetapi, ber­barengan dengan itu, sisi-sisi mencemaskan dari Pak Harto juga menyembul ke permukaan. Jiwa dan gaya kemiliterannya tetap bertahan dalam suasana tanggung­jawab pemerintahan sipil – jiwa kemiliteran yang pernah mem­buatnya sukses besar dalam men­jalankan tugas-tugas kenegaraan sebelumnya.

Lemahnya wawasan tentang “nation-state
Pak Harto agaknya kurang meng­hayati berbagai keharusan sebuah modern nation-state se­bagaimana didambakan para founding fathers. Yaitu, keharusan menerapkan prinsip-prinsip good governance untuk menghasilkan clean government (sehingga praktek-praktek KKN yang sangat terkutuk itu dapat tercegah), juga prinsip-prinsip melindungi kebebasan-kebebasan sipil, membela hak-hak asasi manusia, menegakkan ke­daulat­an hukum, memperhatikan dengan sungguh-sungguh pen­didik­an untuk seluruh warga negara di semua pelosok wilayah, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Suatu ironi besar pada Pak Harto, bahwa ia se­demikian kuat menyatakan diri dan sistemnya terikat dengan nilai-nilai Pancasila, namun ekspresi komit­mennya kepada nilai-nilai itu hanya menghasilkan gejala verbalisme – yaitu gejala perasaan telah berbuat karena telah sering mengucapkan dan membicarakannya. Sementara itu, kehidupan sehari-hari marak dengan contoh-contoh tindakan dan perilaku yang bertentangan dengan salah satu atau mungkin malah semua dari prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.
Demikian pula berkenaan dengan paham kemajemukan atau pluralisme. Sadar atau tidak, Pak Harto, sama dengan Bung Karno, menunjukkan ketidaksetiaan asas atau inkonsistensi yang mencemas­kan. Selain tentang Pancasila, Pak Harto juga sangat rajin meng­ingatkan kita semua tentang prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi dalam banyak tindakan nyata, Pak Harto menunjukkan keinginan kuat untuk menyeragamkan kehidupan nasional, khususnya di bidang politik dan pemerintahan. Sistem-sistem pemerintahan daerah ber­angsur-angsur digiring untuk me­nerapkan sistem yang seragam, mengikuti model pemerintahan di Jawa.

Tentang paham kemajemukan
Di atas semua itu, sikap Pak Harto dan sistemnya yang me­nunjuk­kan kurangnya konsistensi berkenaan dengan paham ke­majemukan, ialah penolakannya yang keras dan kategorikal terhadap ide tentang perlunya oposisi resmi terhadap pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Bagi yang sempat berusaha memahami lebih mendalam, ungkapan Bhinneka Tunggal Ika gubahan Empu Tantular itu dimaksudkan sebagai pengakuan positif kepada keanekaragaman orientasi keagamaan dalam masya­rakat, karena hakikat dan tujuan semuanya itu satu dan sama, yaitu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa  dan berbuat baik kepada sesama  makhluk : Tan Hana Dharma Mangroa, tidak ada jalan kebaikan yang mendua dalam tujuan.
Transformasi pandangan dasar itu ke bidang politik mengharuskan masyarakat untuk menerima secara positif adanya perbedaan orientasi politik, yang juga berarti harus tersedia ruang bagi kegiatan oposisi. Demokrasi menuntut adanya pandangan ini pada setiap pribadi, lebih-lebih pada setiap pribadi para pemimpin, suatu pandangan yang selaras dengan keharusan berendah hati sehingga mampu melihat diri sendiri berkemungkinan salah, dan orang lain yang berbeda dengan dirinya berkemungkinan benar. Demokrasi tidak mungkin disertai dengan absolutisme dan sikap-sikap mau benar sendiri lainnya. Demokrasi mengharuskan adanya sikap saling percaya (mutual trust) dan saling menghargai (mutual respect) antara sesama warga masyarakat. Di bawah pertimbang­an tujuan yang lebih besar, yaitu kemashlahatan umum, demokrasi tidak membenarkan adanya sikap all or nothing (semua, atau tidak), take it or leave it (ambil, atau tinggalkan), yaitu sikap-sikap serba kemutlakan-mutlakan. Sebaliknya, seperti dalam kaedah fiqih Islam (usûl al-fiqh), yang berlaku ialah “yang tidak semua bisa didapat tidak semua harus ditinggalkan”. Maka demokrasi memerlukan adanya kesediaan setiap pesertanya untuk menerima kenyataan bahwa keinginan seseorang tidak mungkin seluruhnya diterima oleh semua orang dan dilaksanakan, melainkan hanya sebagian saja. Sebab salah satu segi asasi demokrasi ialah “partial functioning of ideas”, “berlakunya hanya sebagian dari ide-ide”, karena selebihnya datang dari orang lain sesama peserta demokrasi.
Karena itu demokrasi juga menuntut adanya kesediaan dari pihak-pihak yang bersangkutan untuk kemungkinan terjadinya kompromi atas dasar pertimbangan prinsipil, bukan karena oportunis­me. Semuanya itu merupakan inti dan semangat sebenarnya ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dan Tan Hana Dharma Mangroa. Maka budaya-budaya daerah harus ditempatkan dengan penuh penghargaan begitu rupa sehingga tetap memperoleh pengakuan yang sah sebagai bentuk-bentuk kearifan lokal yang memperkaya budaya dan ke­­arif­an nasional. Dengan demi­kian, prinsip Bhinneka Tunggal Ika mendorong berlangsungnya cultural cross fertilization, penyuburan silang budaya, guna menghasilkan budaya nasional hibrida yang lebih unggul dan lebih tangguh. Usaha penye­ragaman, seperti biasanya dicoba lakukan oleh penguasa totaliter, bertentangan secara diametral dengan prinsip amat mendasar dalam kehidupan bernegara kita yang adil, terbuka dan demokratis.

Tentang pembangunan fisik ekonomi
Kembali kepada soal Pak Harto, dengan bantuan penuh kaum teknokrat, khususnya para ahli ekonomi anggota “Berkeley Mafia”, telah berhasil menaikkan taraf hidup rata-rata bangsa Indonesia ke tingkat yang jauh lebih tinggi daripada masa “Orde Lama”, suatu hasil kerja yang samasekali tidak mungkin dapat diabaikan atau diingkari. Tetapi, sebagaimana disiratkan dalam salah satu bait lagu kebangsaan Indonesia Raya, Pak Harto dan Orde Baru baru menyentuh bagian “bangunlah badannya”, belum menyentuh bagian “bangunlah jiwanya”. Dengan meningkatkan taraf hidup rata-rata, Pak Harto telah mem­bangun sisi badan lahiri atau wadag bangsa. Tetapi dengan tidak mem­beri perhatian memadai kepada keharusan-keharusan sebuah modern nation-state atau nasionalis­me yang terbuka dan egaliter partisipatif, sengaja atau tidak Pak Harto telah menelantarkan pem­bangunan sisi jiwa batin bangsa. Padahal, menurut kearifan dalam lagu kebangsaan, sisi batin adalah primer, sedangkan sisi lahir adalah sekunder. Membangun sisi jiwa akan berimbas positif kepada pembangunan sisi badan, suatu imbas yang lebih besar dan lebih positif daripada imbas pembangun­an sisi badan kepada sisi jiwa. Ketimpangan antara yang lahir dan yang batin dan tiadanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat menyalahi prinsip-prinsip tatanan hidup manusia yang benar, dan akan membawa kesulitan besar kepada suatu bangsa. Itulah, dengan me­minjam ungkapan Bung Karno, hukum besi sejarah umat manusia. Bung Karno telah tertimpa hukum besi itu, dan selang sekitar 30 tahun sesudahnya, hukum yang sama menimpa Pak Harto. Kita harus menarik pelajaran dari semua itu.
Mengacu kepada drama kosmis dalam Kitab Suci, sesungguhnya tidak ada yang dinamakan “pohon khuldi” (shajaratu ‘l-khuldi), yaitu pohon kehidupan abadi di dunia; juga tidak ada pohon kekuasaan yang tidak bakal runtuh (mulkun lâ yablâ). Pohon serupa itu hanya ada dalam keterangan palsu syetan tentang pohon terlarang di Surga. Dengan keterangannya itu syetan berhasil menggoda Adam dan Hawâ, sehingga keduanya me­langgar pesan Tuhan untuk tidak mendekati pohon terlarang, dan memakan buah pohon itu. Akibatnya, Adam dan Hawâ diusir Tuhan turun dari Surga. Nafsu untuk hidup abadi yang kemudian mendorong orang untuk menumpuk kekayaan “tujuh turunan” dan ambisi untuk mem­peroleh kekuasaan dan berkuasa selama-lamanya demi kekuasaan itu sendiri adalah perbuatan “memakan buah pohon hidup abadi dan kekuasaan selama-lamanya” seperti dibisikkan syetan, dan melanggar pesan Tuhan jangan mendekati pohon terlarang. Pelanggaran itu pasti akan berakhir dengan kenistaan. Sejarah umat manusia banyak menyaksikan pelanggaran serupa itu, dengan akibat runtuh­nya rezim-rezim, dinasti-dinasti, dan bangsa-bangsa. Sebab semua itu akan menjerumuskan masya­rakat kepada kemerosotan moral. Kemerosotan moral dengan gejala gaya mewah berlebihan itulah penyebab utama hancurnya negara. Sejarawan Edward Gibbon (1734-1794) juga menggunakan pandang­an itu untuk menerangkan sebab-sebab runtuhnya Kekaisaran Romawi, dalam karya klasiknya, The History of the Decline and Fall of the Roman Empire.




 SEPERTI KITA
[Sejarah Pertarungan Indonesia KITA]






Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam







Menangkap realitas historis dan berbagai persoalan dan perkembangan yang mengikutinya kemudian, tampilah Lafran Pane seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam) yang sejak menjadi mahasiswa, aktif mengamati dan memikirkan secara seksama perkembangan sosial, politik, dan budaya di tanah air. Lafran Pane, seroang mahasiswa STI yang baru duduk di tingkat I, membicarakan dengan teman-temannya mengenai gagasan pembentukan organisasi mahasiswa Islam.
Lafran Pane mengundang para mahasiswa Islam yang ada di Yogyakarta baik yang ada di STI, Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada, Sekolah Tinggi Teknik (STT), guna menghadiri rapat membicarakan maksud tersebut. Rapat dihadiri lebih kurang 30 orang mahasiswa, di antaranya terdapat anggota PMY (Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta) dan GPII. Rapat-rapat yang sudah berulang kali dilaksanakan belum membawa hasil karena ditentang oleh PMY.
Dengan mengadakan rapat tanpa undangan, secara mendadak dan dengan izin Bapak Husein Yahya (Dosen STI) mempergunakan jam kuliah Tafsir Bapak Husein Yahya (mantan Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), diselenggarakanlah pertemuan untuk mendeklarasikan HMI.
Ketika itu Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366H, bertepatan tanggal 5 Februari 1947, di salah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan (sekarang Jl. Panembahan Senopati), Lafran Pane memimpin rapat dan menyatakan, “Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Sikap ini diambil, karena kebutuhan terdapat oraganisasi ini sudah sangat mendesak. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang. Toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan. ”
Dalam rapat tersebut selanjutnya diputuskan:
Pertama          : Hari Rabu Pon 1878, tanggal 14 Rabiul Awal 1366 bertepatan dengan 5 Februari 1947, ditetapkan berdirinya organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Kedua  : Mengesahkan Anggaran Dasar HMI. Adapun Anggaran Rumah Tangga dibuat kemudian.
Ketiga  : Membentuk Pengurus HMI dengan komposisi
            Ketua               : Lafran Pane
            Wakil Ketua     : Asmin Nasution
            Penulis I          : Anton Timur Jailani
            Penulis II         : Karnoto Zarkasyi
            Bendahara I    : Dahlan Husein
            Bendahara II   : Maisaroh Hilal
            Anggota           : Suwali, Yusdi, Yusdi Ghozali, Mansyur



Fase-Fase Pertarungan Indonesia HMI






Dalam perjalanan HMI selama setengah abad lebih, telah menjalani sebelas fase:

A.     Konsolidasi spiritual dan proses berdirinya HMI
(November 1946 – 5 Februari 1947)
     Bermula dari latar belakang munculnya pemikiran dan berdirinya HMI serta kondisi objektif yang mendorongnya, rintisan untuk mendirikan HMI muncul di bulan November 1946. Latar belakang permasalahan berdirinya HMI merupakan suatu kenyataan yang harus diantisipasi dan dijawab secara cepat dan konkrit dengan menunjukkan apa sebenarnya Islam itu. Karenanya pembaharuan pemikiran di kalangan umat Islam bangsa Indonesia adalah suatu keniscayaan.

B.     Berdiri dan pengokohan
(5 Februari – 30 November 1947)
Selama lebih kurang sembilan bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI baru berakhir. Masa ini dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi untuk mengokohkan eksistensi HMI. Karena itu, untuk sosialisasi organisasi maka diadakan ceramah-ceramah ilmiah, rekreasi, dan malam-malam kesenian. Bidang organisasi mendirikan cabang-cabang baru seperti Klaten, Solo, dan Yogyakarta. Pengurus HMI bentukan 5 Februari 1947 otomatis menjadi PB HMI pertama dan merangkap menjadi pengurus HMI Cabang Yogyakarta.
Semula ada anggapan bahwa anggota HMI hanya untuk mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam). Untuk menghilangkan anggapan tersebut, tanggal 22 Agustus 1947, PB. HMI di reshuflle. Ketua Lafran Pane digantikan oleh H.M Mintaredja dari fakultas Hukum BPT GM (Balai Perguruan Tinggi Universitas Gajah Mada), sedang Lafran Pane menjadi wakil ketua merangkap ketua Cabang Yogyakarta. Sejak itu mahasiswa BPT GM, STT mulai masuk dan berbondong-bondong menjadi anggota HMI. Di Yogyakarta, tanggal 30 November 1947  diadakan Kongres I HMI.
     
C.     Perang kemerdekaan, dan menghadapi pengkhianatan/pemberontakan PKI I
(1947 – 1949)
Sejalan dengan salah satu tujuan awal berdirinya HMI –mempertahankan kemerdekaan– maka dalam masa perang kemerdekaan HMI terjun bertempur melawan Belanda. HMI membantu pemerintah, baik langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing, sebagai staf penerangan, maupun sebagai penghubung.
Tidak hanya itu, HMI juga berperan besar menghadapi pemberotakan PKI Madiun 18 September 1948. Wakil ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro –yang ketika itu juga menjabat sebagai Ketua PPMI (Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia)– membentuk Corps Mahasiswa (CM) di bawah komando Hartono, sedang Ahmad Tirtosudiro sendiri menjadi Wakil Komandan. HMI membantu pemerintah menumpas pemberontakan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM (Corps Mahasiswa) ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak saat itu PKI menaruh dendam terhadap HMI. Kebencian PKI memuncak pada tahun 1964-1965, di saat-saat menjelang meletusnya Gestapu/PKI 1965.
     Pada fase ini pula berlangsung Dies Natalis (perayaan ulang tahun) pertama HMI di Bangsal Kepatihan tanggal 6 Februari 1948. Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) Jendral Sudirman selain mengartikan HMI sebagai Himpunan Mahasiswa Islam, juga diartikan HMI sebagai (H)arapan (M)asyarakat (I)ndonesia. Karena masyarakat bangsa Indonesia umumnya beragama Islam, HMI juga diartikan (H)arapan (M)asyarakat (I)slam (I)ndonesia.
     Pada fase ini juga berlangsung Kongres Muslimin Indonesia II di Yogyakarta tanggal 20 sampai 25 Desember 1949. Kongres ini dihadiri 185 organisasi alim ulama dan intelegensia seluruh Indonesia. Salah satu keputusan di bidang organisasi diantaranya adalah ketetapan bahwa: hanya satu organisasi mahasiswa Islam (HMI), yang becabang di tiap-tiap kota yang ada sekolah tinggi.
      
D.     Pembinaan dan pengembangan organisasi
(1950 - 1963)
Selama anggota HMI banyak terjun ke gelanggang medan pertempuran membantu pemerintah mengusir penjajah, selama itu pula pembinaan organisasi HMI terabaikan. Tetapi hal itu dilakukan dengan sadar demi tercapainya tujuan HMI sendiri, yakni tugas Agama dan Bangsa. Dengan adanya pengakuan kedaulatan rakyat Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berminat melanjutkan kuliah banyak bermunculan di Yogyakarta.
Sejak tahun 1950 dilaksanakan usaha-usaha konsolidasi. Bulan Juli 1951 PB HMI di pindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.
Di antara usaha-usaha yang dilaksanakan selama 13 tahun itu diantaranya : (1) Pembentukan cabang-cabang baru, (2) Menertibkan majalah media sejak 1 Agustus 1954, Sebelumnya terbit Criterium, Cerdas, dan tahun 1959 menerbitkan majalah Media, (3) Tujuh kali kongres, (4) Pengesahan atribut HMI seperti lambang, bendera, muts, dan Hymne HMI, (5) Merumuskan tafsir asas HMI, (6) Pengesahan kepribadian HMI, (7) Pembentukan BADKO (Badan Koordinasi), (8) Menetapkan metode Training HMI, (9) Pembentukan lembaga-lembaga HMI.
Di bidang ekstern (1) Pendayagunaan PPMI, (2) Menghadapi PEMILU 1 1955, (3) Penegasan independensi HMI, (4) Mendesak pemerintah supaya mengeluarkan UU Perguruan Tinggi (5) Tuntutan agar pelaksanakan pendidikan agama sejak dari SR (Sekolah Rakyat) sampai Perguruan Tinggi, (6) Megeluarkan konsep “Peranan Agama dalam Pembangunan”, dan lain-lain.
Selain masalah internal, muncul pula persoalan ekstern yang menonjol. Keberhasilan HMI melaksanakan konsolidasi organisasi ternyata justeru semakin memunculkan ketidaksenangan golongan tertentu kepada HMI, yaitu PKI.
Kegagalan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 ternyata kurang ditindak tegas oleh pemerintah. Mereka tidak dibubarkan sehingga PKI otomatis mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali. Lebih dari itu, bahkan pada tanggal 21 Februari 1957 Presiden Soekarno mengumumkan konsepsinya tentang “kabinet berkaki empat” dengan unsur PNI , Masyumi, NU, dan PKI (sebagai 4 besar pemenang PEMILU tahun 1955). Ancaman PKI semakin besar ketika pada tanggal 19 November 1957 di Moskow dicetuskan Manifes Moskow, yaitu suatu program untuk mengkomuniskan Indonesia.
Akibat itu semua PKI tampil sebagai partai pemerintah. Salah satu partai yang tegas menentang PKI ketika itu adalah Masyumi. Tetapi, akibat penentangannya terhadap kebijakan politik Presiden Soekarno dengan keputusan Presiden Nomor: 200 tanggal 17 Agustus 1960 memaksa Masyumi dibubarkan. Muasyumi mendapat peringatan keras, apabila dalam batas waktu 30 hari tidak membubarkan diri akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Akhirnya, dengan surat nomor: 180/B/VI-25/60 tanggal 13 September 1960 yang ditandatangani oleh ketua umum Prawoto Mangkusaswito dan sekertaris umum M. Yunan Nasution yang disertai sebuah memorandum, Masyumi menyatakan membubarkan diri. Karena itu, Masyumi bukan partai terlarang, tetapi ia jelas partai yang membubarkan diri dalam keadaan dipaksa.
Partai-partai lain seperti PNI, NU, PARKINDO, Partai Katolik, dan lain-lain tidak mau dan tidak mau mengambil resiko untuk melawan arus sehingga menambah suasana yang sangat menguntungkan PKI. Untuk menghadapi perkembangan politik, Kongres V HMI di medan tanggal 24–31 Desember 1957 mengeluarkan 2 sikap antara lain: (1) mengharamkan menganut ajaran komunis karena bertentangan dengan agama Islam, (2) menuntut Islam sebagai dasar agama.
         
E.     Pertarungan Indonesia Kita
(1964 – 1965)
Dendam PKI pada HMI yang tertanam sejak pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, membuat mereka terus mengejar HMI. Karena dianggap sebagai penghalang bagi tercapainya tujuan PKI, maka dilakukan berbagai upaya agar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bubar.

1.     Plan 4 tahun PKI untuk membubarkan HMI
Setelah Masyumi dan GPII berhasil dipaksa bubar, tahun 1960-1963 maka PKI menganggap HMI sebagai kekuatan ketiga umat Islam, karena dalam tubuh HMI terkumpul 5 kekuatan yaitu: 1] pemuda, 2] mahasiswa, 2] calon sarjana, 3] calon intelektual, serta sebagai 5] calon pemimpin bangsa masa mendatang. Dalam usaha PKI untuk merebut kekuasaan, HMI dianggap penghalang utama yang harus dibubarkan. PKI khawatir kehadiran HMI akan kembali menggagalkan agenda GESTAPU (Gerakan September Tiga puluh), sebagaimana yang terjadi di Madiun. Maka digariskanlah plan 4 tahun PKI untuk membubarkan HMI, yang mengaruskan HMI bubar sebelum Gestapu/PKI meletus. 

2.     Dendam kesumat PKI terhadap HMI
Dengan kondisi yang mendukung sesuai dengan hasil Kongres II, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) di Salatiga, Juni 1961 untuk melikuidasi HMI. PKI, CGMI, dan kelompok-kelompok yang seideologi mulai melakukan perlawanan terbuka untuk membubarkan HMI. Ketua CC PKI Dn. Aidit menganggap bahwa sebenarnya HMI sudah lama bubar, yaitu bersamaan dipaksa bubarnya Masyumi tanggal 13 september 1960.
Dendam PKI pada HMI yang timbul sejak menumpas pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948, sebagaimana diucapkan Lafran Pane, adalah konsekuensi logis mengingat HMI sebagai organisasi mahasiswa yang lahir sebelum peristiwa Madiun tahun 1948. lewat Corps Mahasiswa (CM) yang komandannya adalah anggota HMI, turut mengambil bagian aktif di dalam menumpas gerakan komunis di Madiun bersama ABRI. Inilah sebabnya mengapa HMI menjadi lawan utama PKI.
Keberhasilan HMI mengadakan konsolidasi organisasi, di mana HMI tampil sebagai organisasi yang banyak berperan penting, membuat PKI semakin ingin melampiaskan dendamnya itu.

3.     Tujuan dan target pembubaran HMI
Tujuan pembubaran HMI adalah untuk memotong kader-kader bangsa Indonesia yang akan dibina HMI.

4.     Front Aksi Penggayangan dan Pembubaran
Untuk membubarkan HMI dibentuklah Panitia Aksi Pembubaran HMI di Jakarta, yang terdiri dari Ketua GMNI. Wakil-wakil ketua: IPPI, GERMINDO, GMD, MMI. Sekretaris: CGMI. Wakil-wakil sekretaris: PERHIMI, GMRI, GSMI. Anggota: Pemuda Marhaenis, Pemuda Rakyat, Pemuda Indonesia, PPI, dan APPI. Hal ini, terjadi bulan Maret 1965.
Menjawab tantangan itu, Generasi Muda Islam (GEMUIS) yang terbentuk tahun 1964 membentuk panitia solidaritas pembelaan HMI, yang terdiri dari unsur-unsur pemuda, pelajar, mahasiswa Islam seluruh Indonesia.
Begitu bersemangatnya PKI dan simpatisannya untuk membubarkan HMI mengerahkan semua kekuatan dan daya, berupa tiga partai besar, (1) Partai Komunis Indonesia, (2) Partai Indonesia (PARTINDO), (3) Partai Nasional Indonesia (PNI), dan seluruh underbow ketiga partai tersebut yang semuanya berjumlah 42 buah organisasi masa. Sementara media surat kabar yang ikut menyuarakan dan memberitakan supaya HMI bubar, sebanyak 30 buah surat kabar, termasuk Surat Kabar Kedaulatan Rakyat dan Berita Nasional (dulu Nasional) Yogyakarta.    

5.     Dalih penggayangan
Sebenarnya sulit bagi PKI dan kelompok-kelopoknya untuk mencari-cari alasan membubarkan HMI. Maka dibuatlah berbagai fitnah dan hasutan yang semuanya tanpa fakta yang dapat dibuktikan. HMI dikatakan anti pancasila, anti UUD 1945, anti PBR Soekarno, terlibat PRRI/PERMESTA. Aidit menyebut: “Seharusnya tidak ada plintat-plintut terhadap HMI. Saya menyokong penuh tuntutan pemuda dan pelajar mahasiswa Indonesia yang menuntut pembubaran HMI, yang seharusnya sudah lama bubar bersamaan denga bubarnya Masyumi. HMI disebut dan dihubungkan dengan Masyumi.”

6.     Strategi dan taktik rentetan usaha pembubaran HMI
(1)   Manifest Moskow 19 November 1957 “Program untuk mengkomunisikan Indonesia”. berarti bahwa semua gerakan komunis di dunia ini termasuk di Indonesia digerakkan dari Moskow.
(2)   Kongres ke-2 Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (GCMI) di Salatiga bulan Juni 1961, dengan satu keputusan “Melikuidasi HMI”.
(3)   Peristiwa Utrech di Jember. Dengan Surat Keputusan No.2 Tahun 1964, tanggal 12 Mei 1964, melarang HMI di fakultas hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember, dengan alasan HMI terlibat PRRI/PERMESTA, DI/TII, dll.
(4)   Peristiwa “ Kanigoro” di Kediri tanggal 13 Januari 1965
(5)   Peristiwa “Kepahitan Yogyakarta” tanggal 25 Februari 1965
(6)   Peristiwa Malang 7 Maret 1965
(7)   Peristiwa Surabaya 8 Maret 1965.

7.     Dukungan dan pembelaan terhadap HMI
Walaupun HMI dituntut dibubarkan oleh PKI, CGMI dan segenap kekuatan dan simpatisannya, namun para pejabat sipil, maupun militer, para pimpinan organisasi dan mahasiswa, serta tokoh-tokoh Islam turut membela dan mempertahankan hak hidup HMI dari rongrongan kaum komunis, antara lain
(1)   Presiden Soekarno “ Goaehad HMI”
(2)   Menteri PTIP: “Mencabut Keputusan Utrech”
(3)   Mendagri : “Selama tidak dilarang, HMI boleh bergerak”
(4)   Mentri Pangak: “HMI berpikir maju”
(5)   Ketua DPRGR: “Membicarakan saja tidak ada, apalagi melarang”
(6)   Ketua PSII : “ HMI tidak pernah menjadi anak kandung Masyumi”
(7)   PP Muhamadiyah:“ HMI senantiasa giat berjuang”
(8)   PP PPMI: “Masukkan kembali HMI dalam keanggotaan PPMI”
(9)   PB NU: “Ada oknum yang mau serimpung restu Presiden.”        
(10)    Munas GEMUIS: “HMI bukan underbow partai”
(11)    Deklarasi umat Islam di Bandung tanggal 12 Maret 1965, “Setiap rongrongan kepada sebagian umat Islam, dianggap sebagai rongrongan terhadap seluruh umat Islam”
(12)    Jenderal Nasution: “HMI harus maju sebagai pelopor”
(13)    Pangdad Jenderal Achmad Yani: “Saya tidak meragukan HMI”
(14)    Panca Tunggal Lampung: “Kalau menindak HMI akan saya kerahkan satu batalyon”

8.     Puncak aksi tuntutan pembubaran HMI
(1) Subandrio Ajukan Konsepsi Pembubaran HMI
            Begitu berhasilnya PKI mendekati dan mengisi pejabat-pejabat tertentu yang akan dijadikan kawan untuk ikut membantu usaha pembubaran HMI. Dr. Subandrio sebagai wakil Perdana Menteri mengajukan konsepsi pembubaran HMI dalam Sidang Kabinet. Tetapi sebelum dibawa dan dibicarakan dalam Sidang Kabinet. Menteri Pangdad Ahmad Yani melihat konsep itu. Setelah diketahui bahwa konsep itu ternyata konsepsi pembubaran HMI, Menpangad Jenderal Ahmad Yani merobek-robeknya.

(2) DN Aidit Dianugerahi Bintang Maha Putra
            Sebagai Ketua OC PKI, dalam situasi tegang, oleh Presiden Soekarno di istana dianugerahi Bintang Maha Putra Kelas I. Hal ini tidak lepas dari keberhasilan PKI mendekatkan diri kepada Presiden. Bagi HMI kejadian itu, bukan satu peristiwa yang berdiri sendiri. Penganugerahan itu berlangsung tanggal 13 September 1965.

(3) GEMUIS dan HMI Menantang Adit
            Di saat Aidit memperoleh Bintang Maha Putra dari Presiden, maka GEMUIS menantang Aidit, dengan mengadakan appel besar-besaran, di mana GEMUIS mengeluarkan pernyataan pembelaannya kepada HMI : “Akan membela HMI sampai titik darah yang penghabisan”. Sementara barisan HMI pada appel tersebut membawa poster yang berbunyi “Langkahi mayatku sebelum ganyang HMI”.

(4) HMI Merupakan Taruhan Terakhir
            Bagi umat Islam HMI merupakan taruhan terakhir yang harus dipertahankan sampai titik darah yang penghabisan. Hikmah dari usaha pembubaran HMI ini, semangat persatuan dan kesatuan umat Islam bangkit. Persoalannya, kalau HMI sempat bubar, maka satu persatu dari organisasi Islam itu dikenakan sapu pembubaran. HMI merupakan test case terakhir.

(5) Berdasarkan Keputusan (Komando Tertinggi Retoling Aparatur Revolusi) KOTRAR “HMI Jalan Terus”
            Berdasarkan kebijaksanaan Panglima Besar KORTAR Presiden Soekarno, dengan surat keputusan tanggal 17 September 1965, HMI dinyatakan jalan terus, tidak dibubarkan. Inilah imbangan yang diberikan kepada HMI/umat Islam, sementara Aidit/PKI memperoleh bintang Maha Putra.

(6) Situasi Berbalik
            Akibat usaha penggayaan dan pembubaran HMI, maka persatuan dan solidaritas umat Islam dan yang anti PKI mulai timbul dan tergalang dengan kuat, termasuk dikalangan ABRI. Kekuatan sudah mempola, antara kekuatan PKI dan anti PKI, yang kalau diamati secara cermat, akhirnya situasi berbalik, yang tadinya secara politik situasi sangat menguntungkan PKI, tetapi akhirnya merugikan PKI dan menguntungkan umat Islam, dengan sendirinya HMI merupakan simbol anti komunis.

(7) DN. Aidit Beragitasi “HMI Soal Kecil”
Aidit berdalih HMI soal kecil. Tapi kenyataannya PKI tidak mampu melakukan apa-apa, dan bahkan membutuhkan bantuan PNI, Partindo dan ormasnya ikut menuntut pembubaran HMI. Hal itu dipertontonkan Aidit tanggal 29 September 1965, tatkala diadakan penutupan Kongres III CGMI di Istora  Senayan. Waktu itu dimanfaatkan oleh PKI, sebagai usaha terakhir untuk mencoba mempengaruhi Bung Karno agar membubarkan HMI yang nanti disampaikan ketika memberikan sambutannya. Aidit kesal dan mengatakan, “kalau CGMI tidak bisa membubarkan HMI, anggota CGMI yang laki-laki lebih baik pakai kain sarung saja. HMI soal kecil tidak usah saya disuruh bicara, tidak usaha Pak Ali (PNI), tidak usah Pak Idham (Partai NU) kalian selesaikan sendiri saja. Contoh, massa rakyat minta Partai Murba dibubarkan, presiden lantas instruksikan bubarkan. Kalau semua front sudah minta, Presiden akan membubarkan HMI.”
Akan tetapi apa yang dikatakan Bung Karno dalam pidatonya :Pemerintah mempunyai kebijaksanaan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kehidupan organisasi mahasiswa yang revolusioner. Tapi kalau organisasi mahasiswa yang menyeleweng itu menjadi kontra revolusi umpamanya HMI, aku sendiri yang akan membubarkannya. Demikian pula kalau CGMI menyeleweng menjadi kontra revolusi juga akan kububarkan.
Ternyata HMI tidak dibubarkan, HMI jalan terus, sesuai dengan garis kebijaksanaan Presiden. Dengan kejadian itu PKI, CGMI serta seluruh barisannya menjadi frustasi, lesu, lemas, dan kehilangan semangat.

(8) PKI Siap Main Kayu, daripada Didahului Lebih Baik Mendahului
            Antara lain karena gagal membubarkan HMI. PKI takut didahului umat Islam, maka dia mendahului, karena PKI memang secara fisik sudah siap berontak, merebut kekuasaan dari tangan pemerintahan yang sah.

(9) Anti Klimaks Gestapu/PKI Meletus dan Serangan Fajar
Tidak ada jalan lain bagi PKI untuk menebus kekalahannya pada peristiwa Madiun pada tahun 1948, kecuali dengan berontak, dengan jalan perebutan kekuasaan yang memang sudah lama dipersiapkan walaupun PKI berusaha untuk menutupinya. Menurut PKI, “ibukota berada dalam keadaan hamil tua” yang akan melahirkan bayi “gestapu” dan memang terjadi, yakni dengan pemberontakan Gestapu/PKI tanggal 30 September 1965.
Ketajaman politik HMI telah mencium bahwa pemberontakan G30S pasti dilakukan PKI. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pagi-pagi buta, tanggal 1 Oktober 1965 utusan PB HMI yang terdiri dari Darmin P. Siregar, dan Ekky Syachruddin menghadap Pangdam V Jaya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah (mantan wakil Presiden RI) dan menyatakan 4 sikap :

(1)  Pemberontakkan itu dilakukan oleh PKI
(2)  HMI menuntut supaya PKI dibubarkan
(3)  Karena pemberontakan itu menyangkut masalah politik, supaya diselesaikan secara politik dan untuk mengkoordinasikan supaya dipercayakan kepada partai NU
(4)  HMI akan memberikan bantuan apa saja yang diminta pemerintah untuk menumpas pemberontakan Gestapu PKI.

Secara organistoris, dengan surat nomor : 2125/B/Sek/1965, tanggal 4 Oktober 1965, HMI mengeluarkan pernyataan yang mengutuk peristiwa Gestapu PKI. Pernyataan itu ditandatangani oleh Sulastomo sebagai Ketua Umum dan Mar`ie Muhammad sebagai Sekretaris Jenderal PB HMI.

(10) Komandan Gestapu Letkol Untung, Bernasib malang, walaupun Naik Bis Mujur
Untung berusaha melarikan diri dari Jakarta menuju Surakarta untuk bergabung dengan D.N. Aidit dan berhasil dengan kucing-kucingan sampai ke Cirebon. Dari Cirebon Untung naik bis Mujur. Memang nasibnya lagi malang, gerak-geriknya diketahui anggota ABRI yang kebetulan berada dalam bis yang ditumpanginya. Untung berusaha melarikan diri, dengan melompat dari dalam bis yang sedang berjalan, kemudian menabrak tiang listrik dan sempoyongan.
Anggota ABRI yang ada dalam bis itu meneriakkan maling, kemudian secara beramai-ramai ditangkap pasukan Hansip yang bertugas di tempat kejadian. Komandan Gestapu PKI akhirnya ditangkap oleh seorang Hansip. Meski namanya Untung, berangkat naik bis Mujur, tetapi nasibnya malang karena diteriaki maling. Untung dibawa ke Jakarta untuk di Sidang Mahmilub, dan dijatuhi hukuman mati.

(11) D.N. Aidit Dieksekusi
Karena secara politis dan fisik, pemberontakan Gestapu PKI dianggap gagal, maka sejak 1 Oktober 1965 Ketua CC PKI dan gembong Gestapu PKI sudah menjadi buronan. Tanggal 1 Oktober 1965 malam D.N. Aidit mendarat di lapangan Adisucipto Yogyakarta dan memberi gemblengan kepada Pemuda Rakyat di Kotagede. Seterusnya gembong PKI itu meneruskan petualangannya ke Solo sebagai basis terkuat PKI sesudah Jakarta. Taktik gerilya akan dimulai dari Solo, dan itu dilaksanakan sesuai dengan taktik perjuangan Partai Komunis Cina sebagai Kiblat PKI mengadakan pemberontakan G 30 S/PKI.
Sewaktu pemberontakkan PKI Madiun tahun 1948, PKI berada dibawah komando Partai Komunis Uni Sovyet. Tanggal 21 November 1965 Aidit tertangkap di Solo. Ketika ditangkap oleh Pangdam VII Diponegoro Mayor Jenderal Suryo Sumpeno, Aidit mengatakan: Saya ini Menteri   Koordinator (Menko) dan saudara tidak berhak menangkap saya. Tetapi setelah dipaksa akhirnya Aidit menyerah, kemudian dieksekusi di Boyolali. Kejadian itu dilaporkan komandan RPKAD (sekarang KOPASSUS) Kolonel Sarwo Edhie Wibowo kepada Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno tidak percaya kepada laporan bawahannya itu bahwa Aidit sudah ditangkap dan ditembak mati. Dengan rasa mendongkol Sarwo Edhie penasaran lallu kembali ke Boyolali. Kuburan Aidit dibongkar lalu kepala Aidit dipenggal. Potongan kepala si penghianat itu dimasukkan ke dalam kardus lalu dibawa ke Jakarta. Kemudian diperlihatkan kepada Presiden Soekarno, sebagai bukti bahwa Aidit sudah mati. Bung Karno nampaknya sangat sedih dan kecewa atas kejadian itu, dan di situlah Bung Karno menyadari bahwa Dipo Nusantara (Aidit) anak tokoh Masyumi Aidit dari Bangka Belitung sudah mati akibat perbuatannya.

9.     Strategi HMI menghadapi PKI
Dalam menghadapi PKI, HMI mempergunakan strategi taktik yaitu, PKI dilawan dengan PKI. (P)engamanan, (K)onsolidasi, (I)ntegrasi, dengan semua kekuatan yang anti PKI.

F.      Kebangkitan HMI: Pejuang Pelopor Kebangkitan Angkatan 66
(1966 – 1968)
Tanggal 1 Oktober 1965, adalah tugu pemisah antara Orde Lama dan Orde Baru. Apa yang disinyalir PKI, seandainya PKI gagal dalam pemberontakannya HMI akan tampil kedua kalinya menumpas pemberontakan HMI, betul-betul terjadi. Wakil Ketua PB HMI Mar`ie Muhammad tanggal 25 Oktober 1965, mengambil inisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) sebagai mana yang diperbuat oleh Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro mendirikan Corps Mahasiswa (CM) untuk menghadapi pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948.
Sejarah berulang, walaupun dalam tempat dan waktu yang berbeda. Tritura 10 Januari 1966 : Bubarkan PKI, retool kabinet, dan turunkan harga. Surat Perintah Sebelas Maret 1966 Dibubarkan dan dilarangnya PKI tanggal 12 Maret 1966.Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) terbentuk. Alumni HMI masuk dalam kabinet, dan HMI diajak hearing dalam pembentukan kabinet.

G.    Partisipasi HMI dalam pembangunan
(1969 – 1970)
            Setelah Orde Baru mantap dan Pancasila serta UUD 1969 dilaksanakan secara murni dan konsekwen, maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun, dan sudah menyelesaikan Pembangunan 25 tahun pertama, kemudian menyusul, pembangunan 25 tahun kedua. Pembangunan Indonesia menuju masyarakat adil makmur bukanlah pekerjaan mudah, tetapi sebaliknya merupakan pembangunan raksasa sebagai usaha kemanusiaan yang tidak habis-habisnya. Partisipasi segenap warga negara sangat dibutuhkan. HMI pun sesuai dengan lima aspek pemikirannya, telah memberikan sumbangan dan partisipasinya bagi pembangunan : (a) partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim, yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan, (b) partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran, (c) partisipasi dalam  bentuk langsung dari pembangunan.

H.    Pergolakan dan pembaharuan pemikiran
(1970 – 1998)
Selama kurun waktu Orde Lama (1959-1965) kebebasan  mengeluarkan pendapat baik yang bersifat akademis terlebih-lebih politik terkekang dengan ketat. Suasananya berubah tatkala Orde Baru muncul, meski belum sepenuhnya pada bidang politik. Kejumudan dan suasana tertekan pada masa Orde Lama mulai cair terutama pembaharuan dalam pemikiran Islam yang dipandang sebagai suatu keharusan, sebagai jawaban terhadap berbagai masalah untuk memenuhi kebutuhan kontemporer.
Hal seperti itu muncul dikalangan HMI, dan mencapai puncaknya tahun 1970, tatkala Nurcholish Madjid menyampaikan ide pembaharuannya dengan topic Keharusan Pembaharuan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat. Sikap itu diambil karena jika kondisi begitu dibiarkan mengakibatkan persoalan-persoalan umat yang terbelenggu selama ini, tidak akan memperoleh jawaban yang efektif. Sebagai konsekwensinya timbullah pergolakkan pemikiran dalam tubuh HMI yang dalam berbagai substansi permasalahan timbul perbedaan pendapat, penafsiran dan interpretasi. Mulai dari persoalan Negara Islam, Islam Kaffah, sampai kepada penyesuaian dasar HMI dari islam menjadi Pancasila dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor : 8/1985 yang mengharuskan bahwa semua partai dan organisasi harus berdasarkan Pancasila.
Kongres ke-6 HMI di Padang tahun 1986, HMI menyesuaikan diri dengan mengubah asas Islam dengan Pancasila. Akibat penyesuaian itu beberapa orang oknum anggota HMI membentuk MPO. Akibatnya HMI pecah menjadi dua, yaitu HMI DIPO secara de facto HMI MPO memang ada, tetapi secara yuridis, MPO adalah inkonstitusional.



BAJU KITA
[Barisan Juang KITA]




Memori Penjelasan tentang Islam sebagai Azas HMI








“Hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu: (QS. Al-Maidah : 3).
“Dan mereka yang berjuang dijalan-Ku (kebenaran), maka pasti Aku tunjukkan jalannya (mencapai tujuan) sesungguhnya Tuhan itu cinta kepada orang-orang yang selalu berbuat (progresif) (QS. Al-Ankabut : 69).
Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna hadir di bumi diperuntukkan untuk mengatur pola hidup manusia agar sesuai fitrah kemanusiaannya yakni sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata ke hadirat-Nya.
Iradat Allah Subhanu Wata’ala, kesempurnaan hidup terukur dari personality manusia yang integratif antara dimensi dunia dan ukhrawi, individu dan sosial, serta iman, ilmu dan amal yang semuanya mengarah terciptanya kemaslahatan hidup di dunia baik secara induvidual maupun kolektif.
Secara normatif Islam tidak sekedar agama ritual yang cenderung individual akan tetapi merupakan suatu tata nilai yang mempunyai komunitas dengan kesadaran kolektif yang memuat pemaham/kesadaran, kepentingan, struktur  dan pola aksi bersama demi tujuan-tujuan politik.
Substansi pada dimensi kemasyarakatan, agama memberikan spirit pada pembentukan moral dan etika. Islam yang menetapkan Tuhan dari segala tujuan menyiratkan perlunya peniru etika ke Tuhanan yang meliputi sikap rahmat (pengasih), barr (pemula), ghafur (pemaaaf), rahim (Penyayang) dan (ihsan) berbuat baik. Totalitas dari etika tersebut menjadi kerangka pembentukan manusia yang kafah (tidak boleh mendua) antara aspek ritual dengan aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi dan sosial budaya).
Adanya kecenderungan bahwa peran kebangsaan Islam mengalami madginalisasi dan tidak mempunyai peran yang signifikan dalam mendesain bangsa merupakan implikasi dari proses yang ambigiutas dan distortif. Fenomena ini ditandai dengan terjadinya mutual understanding antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Penempatan posisi yang antagonis sering terjadi karena berbagai kepentingan politik penguasa dari politisi-politisi yang mengalami split personality.
Kelahiran HMI dari rahim pergolakan revolusi phisik bangsa pada tanggal 5 Februari 1974 didasari pada semangat mengimplementasikan nilai-nilai ke-Islaman dalam berbagai aspek ke Indonesian.
Semangat nilai yang menjadi embrio lahirnya komunitas Islam sebagai interest group (kelompok kepentingan) dan oressure group (kelompok penekanan). Dari sisi kepentingan sasaran yang hendak diwujudkan adalah terutangnya nilai-nilai tersebut secara normatif pada setiap level kemasyarakatan, sedangkan pada posisi penekan adalah keinginan sebagai pejuang Tuhan (sabilillah) dan pembelaan mustadh’afin.
Proses internalisasi dalam HMI yang sangat beragam dan suasana interaksi yang sangat plural menyebabkan timbulnya berbagai dinamika ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dengan didasari rasionalisasi menurut subyek dan waktunya.
Pada tahun 1955 pola interaksi politik didominasi pertarungan ideologis antara nasionalis, komunis dan agama (Islam). Keperluan sejarah (historical necessity) memberikan spirit proses ideologisasi organisasi. Eksternalisasi yang muncul adalah kepercayaan diri organisasi untuk “bertarung” dengan komunitas lain yang mencapai titik kulminasinya pada tahun 1965.
Seiring dengan kreatifitas intelektual pada Kader HMI yang menjadi ujung tombak pembaharuan pemikiran Islam dan proses transformasi politik bangsa yang membutuhkan suatu Perekat serta ditopang akan kesadaran sebuah tanggung jawab kebangsaan, maka pada Kongres ke-X HMI di Palembang, tanggal 10 Oktober 1971 terjadilah proses justifikasi Pancasila dalam mukadimah Anggaran Dasar.
Orientasi aktifitas HMI yang merupakan penjabaran dari tujuan organisasi menganjurkan terjadinya proses adaptasi pada jamannya. Keyakinan Pancasila sebagai keyakinan ideologi negara pada kenyataannya mengalami proses stagnasi. Hal ini memberikan tuntutan strategi baru bagi lahirnya metodologi aplikasi Pancasila. Normatisasi Pancasila dalam setiap kerangka dasar organisasi menjadi suatu keharusan agar mampu mensuport bagi setiap institusi kemasyarakatab dalam mengimplementasikan tata nilai Pancasila.
Konsekuensi yang dilakukan HMI adalah ditetapkannya Islam sebagai identitas yang mensubordinasi Pancasila sebagai azas pada Kongres XVI di Padang, Maret 1986.
Islam yang senantiasa memberikan energi perubahan mengharuskan para penganutnya untuk melakukan invonasi internalisasi, eksternalisasi maupun obyektifikasi. Dan yang paling fundamental peningkatan gradasi umat diukur dari kualitas keimanan yang datang dari kesadaran paling dalam bukan dari pengaruh eksternal. Perubahan bagi HMI merupakan suatu keharusan, dengan semakin meningkatnya keyakinan akan Islam sebagai landasan teologis dalam berinteraksi secara vertikal maupun horizontal, maka pemilihan Islam sebagai azas merupakan pilihan dasar dan bukan implikasi dari sebuah dinamika kebangsaan.
Demi tercapainya idealisme ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, maka HMI bertekad Islam menjadikan sebagai doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik, transedental, humanis dan inklusif. Dengan demikian kader-kader HMI harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan mendorong terciptanya penghargaan Islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki dan menyerahkan semua demi ridho-Nya.


Tafsir Tujuan
Himpunan Mahasiswa Islam







I. PENDAHULUAN
Tujuan yang jelas diperlukan untuk suatu organisasi, hingga setiap usaha yang dilakukan oleh organisasi tersebut dapat dilaksanakan dengan teratur. Bahwa tujuan suatu organisasi dipengaruhi oleh suatu motivasi dasar pembentukan, status dan fungsinga dalam totalitas dimana ia berada. Dalam totalitas kehidupan bangsa Indonesia, maka HMI adalah organisasi yang menjadikan Islam sebagai sumber nilai. Motivasi dan inspirasi berstatus sebagai organisasi mahasiswa yang berperan sebagai sumber insani pemnangunan bangsa dan berfungsi sebagai organisasi  yang bersifat independen.
            Pemantapan fungsi Kekaderan HMI ditambah dengan kenyataan bahwa bangsa Indonesia sangat kekurangan tenaga intelektual yang memiliki keseimbangan hidup  yang terpadu  antara pemenuhan tugas duniawi  dan ukhrowi, iman dan ilmu, individu dan masyarakat, sehingga peranan kaum intelektual yang semakin besar dimasa mendatang merupakan kebutuhan yang  paling mendasar.
            Atas faktor tersebut, maka HMI  menetapkan tujuannya sebagaimana dirumuskan dalam pasal 4. AD ART HMI yaitu :

“TERBINANYA INSAN AKADEMIS, PENCIPTA, PENGABDI YANG BERNAFASKAN ISLAM DAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS TERWUJUDNYA MASYARAKAT ADIL MAKMUR YANG DIRIDHOI ALLAH SWT”.

            Dengan rumusan tersebut,  maka  pada hakekatnya HMI bukanlah organisasi massa dalam pengertian fisik dan kualitatif, sebaliknya HMI secara kualitatif  merupakan lembaga pengabdian dan pengembangan ide, bakat dan potensi yang mendidik, memimpin dan membimbing anggota-anggotanya untuk mencapai tujuan dengan cara-cara perjuangan yang benar dan efektif.

II. MOTIVASI DASAR KELAHIRAN DAN TUJUAN ORGANISASI
Sesungghnya Allah SWT  telah mewahyukan Islam sebagai  agama yang Haq dan sempurna untuk mengatur umat manusia agar berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai Khalifatullah di muka bumi dengan kewajiban mengandikan diri semata-mata kehadiratnya.
            Kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut adalah kehidupan yang seimbang dan terpadu  antara pemenuhan dan kalbu, iman dan ilmu, dalam mencapai kebaha giaan  hidup di dunia dan ukhrowi. Atas keyakinan ini, maka  HMI menjadikan Islam selain sebagai motivasi dasar kelahiran juga sebagi sumber nilai, motivasi dan inpirasi. Dengan demikian Islam bagi HMI  merupakan pijakan dalam menetapkan tujuan dari usaha organisasi HMI.
            Dasar Motivasi yang paling dalam bagi HMI adalah ajaran Islam. Karena Islam adalah ajaran fitrah, maka  pada dasarnya tujuan dan mission Islam adalah juga merupakan tujuan daripada kehidupan manusia yang fitri, yaitu yang tunduk kepada fitrah kemanusiaannya.
            Tujuan kehidupan manusia yang fitri adalah kehidupan yang menjamin adanya kesejahteraan jasmani dan rohani secara seimbang atau dengan kata lain kesejahteraan materiil dan kesejahteraan spirituil.
            Kesejahteraan yang akan terwujud dengan adanya amal saleh (kerja kemanusiaan) yang dilandasi dan dibarengi dengan keimanan yang benar. Dalam amal kemanusiaan inilah manusia akan dapat kebahagian dan kehidupan yang sebaik-baiknya. Bentuk  kehidupan yang ideal secara sederhana  kita rumuskan dengan “kehidupan yang adil dan makmur”.
            Untuk menciptakaan kehidupan yang demikian. Anggaran dasar menegaskan kesadaran mahasiswa Islam Indonesia untuk merealisasi nilai-nilai  Ketuhan  Yang Maha  Easa, Kemanusian Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Dalam Kebijaksanaan/Perwakilan serta mewujudkan Keadilan Bagi Seluruh Indonesia dalam rangka mengabdikan diri  kepada Allah SWT.
           Perwujudan daripada pelaksanaan  nilai-nilai tersebut adalah  berupa amal saleh atau kerja kemanusiaan. Dan kerja kemanusiaan ini akan terlaksana secara benar dan sempurna apabila dibekali dan didasari oleh iman dan ilmu pengatahuan. Karena inilah hakekat tujuan HMI tidak lain adalah pembentukan manusia yang beriman dan berilmu serta mampu menunaikan tugas kerja kemanusiaan (amal saleh). Pengabdian dan bentuk amal saleh inilah pada hakekatnya tujuan hidup manusia, sebab dengan melalui kerja kemanusiaan, manusia mendapatkan kebahagiaan.

III. BASIC DEMAND BANGSA INDONESIA
Sesunguhnya kelahiran HMI dengan rumusan tujuan seperti pasal 4 Anggaran Dasar tersebut adalah dalam  rangka menjawab dan memenuhi kebutuhan dasar (basic need) bangsa Indonesia setelah mendapat kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 guna  memformulasikan dan merealisasikan cita-cita hidupnya. Untuk memahami kebutuhan dan tuntutan mereka, maka kita perlu melihat dan memahami keadaan dan sejarah mereka sebelumnya. Sejarah Indonesia dapat kita bagi dalam 3 (tiga) periode yaitu:

a)  Periode (Masa) Penjajahan
            Penjajahan pada dasarnya adalah perbudakaan. Sebagai bangsa terjajah sebenarnya bangsa Indonesia pada waktu itu telah kehilangan kemauan dan kemerdekaan sebagai hak asasinya. Idealisme dan tuntutan bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kemerdekaan. Oleh karena itu timbullah pergerakan nasional dimana pimpinan-pimpinan yang dibutuhkan adalah mereka yang mampu menyadarkan hak-hak asasinya sebagai suatu bangsa.

b). Periode (Masa) Revolusi
Periode ini adalah masa  merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa  serta didoorong oleh keinginan yang luhur maka bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. dalam periode ini yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah adanya persatuan solidaritas dalam bentuk mobilitas kekuatan fisik guna melawan dan menghancurkan penjajah. Untuk itu dibutuhkan adalah “solidarity making” diantara seluruh kekuatan nasional sehingga dibutuhkan adanya pimpinan nasional tipe solidarity maker.

c)  Periode (Masa) Membangun
Setelah Indonesia merdeka dan kemerdekaan itu mantap berada ditangannya maka timbullah cita-cita dan idealisme sebagai manusia yang bebas dapat direalisir dan diwujudkan. Karena periode ini adalah periode pengisian kemerdekaan, yaitu guna menciptakan masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur. Maka mulailah pembangunan nasional. Untuk melaksanakan pembangunan, faktor yang sangat diperlukan adalah ilmu pengetahuan.
Pimpinan nasional yang dibutuhkan adalah negarawan yang “problem solver” yaitu tipe “administrator” disamping ilmu pengetahuan diperlukan pula adanya iman/akhlak  sehingga mereka mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan (amal saleh). Manusia yang demikian mempunyai garansi yang obyektif untuk menghantarkan bangsa Indonesia ke dalam suatu kehidupan yang sejahtera adil dan makmur serta kebahagiaan. Secara keseluruhan basic demand bangsa Indonesia adalah terwujudnya bangsa yang  merdeka, bersatu dan berdaulat, menghargai HAM, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan  dengan tegas tertulis dalam Pembukaan UUD  1945 dalam alinea kedua.
            Tujuan 1 dan 2 secara formal telah kita  capai tetapi tujuan ke-3 sekarang sedang kita perjuangkan. Suatu masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur  hanya akan ter bina dan terwujud  dalam suatu pembaharuan dan pembangunan terus menerus yang dilakukan oleh manusia-manusia yang beriman, berilmu pengetahuan dan berkepribadian, dengan mengembangkan nilai-nilai kepribadian bangsa.

IV. KUALITAS INSAN CITA HMI
Kualitas insan cita HMI adalah merupakan dunia cita yang terwujud oleh HMI  di dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan  berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Kualitas tersebut sebagaimana dalam pasal tujuan (pasal 5  AD HMI)  adalah sebagai berikut :
1.   Kualitas Insan Akademis
a.       Berpendidikan Tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan kritis.
b.      Memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirahasiakan. Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya  dengan kesadaran.
c.       Sanggung berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu pilihannya, baik secara teoritis  maupun tekhnis dan sanggup bekerja secara ilmiah yaitu secara  bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan.

2.   Kualitas Insan Pencipta : Insan Akademis, Pencipta
a.    Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang ada dan bergairah besar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan bersikap dengan  bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh dengan gagasan-gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan  dan pembaharuan.
b.    Bersifat independen dan terbuka, tidak isolatif, insan yang menyadari dengan sikap demikian potensi, kreatifnya dapat berkembang dan menentukan bentuk yang indah-indah.
c.    Dengan ditopang kemampuan akademisnya dia mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran islam.
3.   Kualitas Insan Pengabdi : Insan Akdemis, Pencipta, Pengabdi
a.    Ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak atau untuk sesama umat.
b.    Sadar  membawa tugas insan pengabdi, bukannya hanya membuat dirinya baik tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menajdi baik.
c.    Insan akdemis,  pencipta dan mengabdi adalah yang bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita dan ikhlas mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesamanya.
4.  Kualitas Insan yang  bernafaskan islam : Insan Akademis, pencipta dan pengabdi yang ber nafaskan Islam
a.    Islam yang telah menjiwai dan memberi pedoman pola fikir dan pola lakunya tanpa memakai merk Islam. Islam akan menajdi pedoman dalam berkarya dan mencipta sejalan dengan nilai-nilai universal Islam. Dengan demikian Islam telah menapasi dan menjiwai karyanya.
b.    Ajaran Islam telah berhasil membentuk “unity personality” dalam dirinya. Nafas Islam telah membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema pada dirinya sebagai warga negara dan dirinya sebagai muslim insan ini telah mengintegrasikan masalah suksesnya dalam pembangunan nasional bangsa kedalam suksesnya perjuangan umat islam Indonesia dan sebaliknya.
5.  Kualitas Insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT :
a.    Insan akademis, pencipta dan pengabdi yang ber nafaskan islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.
b.    Berwatak, sanggup memikul akibat-akibat yang dari perbuatannya sadar  bahwa menempuh jalan yang benar diperlukan adanya keberanian moral.
c.    Spontan dalam menghadapi tugas, responsip dalam menghadapi persoalan-persoalan dan jauh dari sikap apatis.
d.    Rasa tanggungjawab, takwa kepada Allah SWT, yang menggugah untuk mengambil peran aktif dalam suatu bidang dalam me wujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
e.    Korektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dengan usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
f.     Percaya pada diri sendiri  dan sadar akan kedudukannya sebagai “khallifah fil ard”  yang harus melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.

Pada pokoknya insan cita HMI merupakan “man of future” insan pelopor yaitu insan yang berfikiran luas dan  berpandangan jauh, bersikap terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara kooperatif bekerja sesuai dengan yang dicita-citakan. Ideal tipe dari hasil perkaderan HMI adalah “man of inovator” (duta-duta pembantu). Penyuara “idea of progress” insan yang berkeperibadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah Allah SWT. Mereka  itu manusia-manusia uang beriman berilmu dan mampu  beramal  saleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil)
Dari liam kualitas lima insan cita tersebut pada dasarnya harus memahami dalam tiga kualitas insan Cita yaitu kualitas insan akademis, kualitas insan pencipta dan kualitas insan pengabdi. Ketiga insan kualitas pengabdi tersebut merupakan insan islam yang terefleksi dalam sikap senantiasa bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang ridhoi Allah SWT.

V. TUGAS ANGGOTA HMI
Setiap anggota HMI berkewajiban berusaha mendekatkan kualitas dirinya pada kualitas insan cita HMI seperti tersebut diatas. Tetapi juga sebaliknya HMI berkewajiban untuk memberikan pimpinan-pimpinan, bimbingan dan kondusif bagi perkembangan potensi kualitas pribadi-pribadi anggota-anggota dengan memberikan fasilitas-fasilitas dan kesempatan-kesempatan. Untuk setiap anggota HMI harus mengembangkan sikap mental pada dirinya yang independen untuk itu :
a.    Senantiasa  memperdalam hidup kerohanian agar menjadi luhur dan bertaqwa kepada Allah SWT.
b.    Selalu tidak puas dan selalu mencari kebenaran
c.    Teguh dalam pendirian dan obyektif rasional menghadapi pendirian yang berbeda.
d.    Bersifat kritis dan berpikir bebas kreatif
e.    Selalu hasu terhadap ilmu pengetahuan dan selalu mencari kebenaran
Hal tersebut akan diperoleh antara lain dengan jalan:
a.       Senantiasa mempertinggi tingkat pemahaman ajaran Islam yang dimilikinya dengan penuh gairah.
b.      Aktif berstudi dalam fakultas yang dipilihnya.
c.       Mengadakan tentor club untuk studi ilmu jurusannya dan club studi untuk masalah kesejahteraan dan kenegaraan
d.      Salalu hadir dalam forum ilmiah
e.       Aktif mengikuti karya seni dan budaya
f.       Mengadakan halaqah-halaqah perkaderan di masjid-masjid kampus

  Bahwa tujuan HMI sebagai dirumuskan dalam pasal AD HMI pada hakikatnya adalah merupakan tujuan dalam setiap Anggota HMI. Insan cita HMI adalah gambaran masa depan HMI. Suksesnya seorang HMI dalam membina dirinya untuk mencapai Insan Cita HMI berarti dia telah mencapai tujuan HMI.
  Insan cita HMI pada suatu waktu akan merupakan “Intelektual community” atau kelompok intelegensi yang mampu merealisasi cita-cita umat dan bangsa dalam suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera spritual adil dan makmur serta bahagia (masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT).
Wabillahittaufiq wal hidayah.



Tafsir Independensi
Himpunan Mahasiswa Islam




A. PENDAHULUAN
Menurut fitrah kejadiannya, maka manusia diciptakan bebas dan merdeka. Karenanya kemerdekaan pribadi adalah hak yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari pada kemerdekaan itu. Sifat dan suasana bebas dan kemerdekaan seperti diatas, adalah mutlak diperlukan terutama pada fase/saat manusia berada dalam pembentukan dan pengembangan. Masa/fase pembentukan dari pengembangan bagi manusia terutama dalam masa remaja atau generasi muda.
Mahasiswa dan kualitas-kualitas yang dimilikinya menduduki kelompok elit dalam generasinya. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis adalah ciri dari kelompok elit dalam generasi muda, yaitu kelompok mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis yang didasarkan pada obyektif yang harus diperankan mahasiswa bisa dilaksanakan dengan baik apabila mereka dalam suasana bebas merdeka dan demokratis obyektif dan rasional. Sikap ini adalah yang progresif (maju) sebagai ciri dari pada seorang intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan obyektifitas.
Atas dasar keyakinan itu, maka HMI sebagai organisasi mahasiswa harus pula bersifat independen. Penegasan ini dirumuskan dalam pasal 6 Anggaran Dasar HMI yang mengemukakan secara tersurat bahwa "HMI adalah organisasi yang bersifat independen"sifat dan watak independen bagi HMI adalah merupakan hak azasi yang pertama.
Untuk lebih memahani esensi independen HMI, maka harus juga ditinjau secara psikologis keberadaan pemuda mahasiswa Islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam yakni dengan memahami status dan fungsi dari HMI.
B. STATUS DAN FUNGSI HMI
Status HMI sebagai organisasi mahasiswa memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam mewujudkan (final goal). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai "kekuatan moral" atau moral forces yang senantiasa melaksanakan fungsi "social control". Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh sikap independen.
Mahasiswa, setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaharuan masyarakat atau "agent of social change". Kelompok mahasiswa dengan sikap dan watak tersebut di atas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat yang akan datang. Oleh sebab itu fungsi kaderisasi mahasiswa sebenarnya merupakan fungsi yang paling pokok. Sebagai generasi yang harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya di masa depan maka kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis. Mereka bukan kelompok tradisionalis akan tetapi sebagai "duta-duta pembaharuan sosial" dalam pengertian harus menghendaki perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu senantiasa menyatakan dirinya serta dikemukakan melalui pembuktian di alam semesta dan dalam sejarah umat manusia. Karenanya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang beradab bagi kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai kebenaran dan berorientasi pada masa depan dengan bertolak dari kebenaran Illahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan beradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara maka setiap kadernya harus mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam.
Watak dan sifat mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi ciri HMI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah memberi petunjuk akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan agar HMI dapat melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktifitas fungsi kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dan komit dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (hanief) maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi kehidupan bangsa dan negaranya.
C. SIFAT INDEPENDENSI HMI
Watak independen HMI adalah sifat organisasi secara etis merupakan karakter dan kepribadian kader HMI. Implementasinya harus terwujud di dalam bentuk pola pikir, pola pikir dan pola laku setiap kader HMI baik dalam dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun dalam melaksanakan "Hakekat dan Mission" organisasi HMI dalam kiprah hidup berorganisasi bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Watak independen HMI yang tercermin secara etis dalam pola pikir pola sikap dan pola laku setiap kader HMI akan membentuk "Independensi etis HMI", sementara watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi HMI akan membentuk "Independensi organisatoris HMI".
Independensi etis adalah sifat independensi secara etis yang pada hakekatnya merupakan sifat yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). Watak dan kepribadian kader sesuai dengan fitrahnya akan membuat kader HMI selalu setia pada hati nuraninya yang senantiasa memancarkan keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran adalah ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA. Dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi setiap kader HMI berarti pengaktualisasian dinamika berpikir dan bersikap dan berprilaku baik "hablumminallah" maupun dalam "hablumminannas" hanya tunduk dan patuh dengan kebenaran.
Aplikasi dari dinamika berpikir dan berprilaku secara keseluruhan merupakan watak azasi kader HMI dan teraktualisasi secara riil melalui, watak dan kepribadiaan serta sikap-sikap yang : 
·         Cenderung kepada kebenaran (hanief)
·         Bebas terbuka dan merdeka
·         Obyektif rasional dan kritis
·         Progresif dan dinamis
·         Demokratis, jujur dan adil
Independensi organisatoris adalah watak independensi HMI yang teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika HMI baik dalam kehidupan intern organisasi maupun dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Independensi organisatoris diartikan bahwa dalam keutuhan kehidupan nasional HMI secara organisatoris senantiasa melakukan partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala usaha pembangunan demi mencapai cita-cita semakin hari semakin terwujud. Dalam melakukan partisipasi partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional tersebut secara organisasi HMI hanya tunduk serta komit pada prinsip-prinsip kebenaran dan obyektifitas.
Dalam melaksanakan dinamika organisasi, HMI secara organisatoris tidak pernah "committed" dengan kepentingan pihak manapun ataupun kelompok dan golongan maupun kecuali tunduk dan terikat pada kepentingan kebenaran dan obyektifitas kejujuran dan keadilan.
Agar secara organisatoris HMI dapat melakukan dan menjalankan prinsip-prinsip independensi organisatorisnya, maka HMI dituntut untuk mengembangkan "kepemimpinan kuantitatif" serta berjiwa independen sehingga perkembangan, pertumbuhan dan kebijaksanaan organisasi mampu diemban selaras dengan hakikat independensi HMI. Untuk itu HMI harus mampu menciptakan kondisi yang baik dan mantap bagi pertumbuhan dan perkembangan kualitas-kualitas kader HMI. Dalam rangka menjalin tegaknya "prinsip-prinsip independensi HMI" maka implementasi independensi HMI kepada anggota adalah sebagai berikut :
·         Anggota-anggota HMI terutama aktifitasnya dalam melaksanakan tugasnya harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan organisasi serta membawa program perjuangan HMI. Oleh karena itu tidak diperkenankan melakukan kegiatan-kegiatan dengan membawa organisasi atas kehendak pihak luar manapun juga.
·         Mereka tidak dibenarkan mengadakan komitmen-komitmen dengan bentuk apapun dengan pihak luar HMI selain segala sesuatu yang telah diputuskan secara organisatoris.
·         Alumni HMI senantiasa diharapkan untuk aktif berjuang menruskan dan mengembangkan watak independensi etis dimanapun mereka berada dan berfungsi sesuai dengan minat dan potensi dalam rangka membawa hakikat dan mission HMI. Dan menganjurkan serta mendorong alumni untuk menyalurkan aspirasi kualitatifnya secara tepat dan melalui semua jalur pembaktian baik jalur organisasi profesional kewiraswastaan, lembaga-lembaga sosial, wadah aspirasi poilitik lembaga pemerintahan ataupun jalur-jalur lainnya yang semata-mata hanya karena hak dan tanggung jawabnya dalam rangka merealisir kehidupan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Dalam menjalankan garis independen HMI dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, pertimbangan HMI semata-mata adalah untuk memelihara mengembangkan anggota serta peranan HMI dalam rangka ikut bertanggung jawab terhadap negara dan bangsa. Karenanya menjadi dasar dan kriteria setiap sikap HMI semata-mata adalah kepentingan nasional bukan kepentingan golongan atau partai dan pihak penguasa sekalipun. Bersikap independen berarti sanggup berpikir dan berbuat sendiri dengan menempuh resiko. Ini adalah suatu konsekuensi atau sikap pemuda. Mahasiswa yang kritis terhadap masa kini dan kemampuan dirinya untuk sanggup mewarisi hari depan bangsa dan negara.

D. PERANAN INDEPENSI HMI DI MASA MENDATANG
Dalam suatu negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini maka tidak ada suatu investasi yang lebih besar dan lebih berarti dari pada investasi manusia (human investment). Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir tujuan, bahwa investasi manusia kemudian akan dihasilkan HMI adalah manusia yang berkualitas ilmu dan iman yang mampu melaksanakan tugas-tugas manusia yang akan menjamin adanya suatu kehidupan yang sejahtera material dan spiritual adil makmur serta bahagia.
Fungsi kekaderan HMI dengan tujuan terbinanya manusia yang berilmu, beriman dan berperikemanusiaan seperti tersebut di atas maka setiap anggota HMI dimasa datang akan menduduki jabatan dan fungsi pimpinan yang sesuai dengan bakat dan profesinya.
Oleh karena itu hari depan HMI adalah luas dan gemilang sesuai status fungsi dan perannya dimasa kini dan masa mendatang menuntut kita pada masa kini untuk benar-benar dapat mempersiapkan diri dalam menyongsong hari depan HMI yang gemilang.
Dengan sifat dan garis independen yang menjadi watak organisasi berarti HMI harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran. Maka konsekuensinya adalah bentuk aktifitas fungsionaris dan kader-kader HMI harus berkualitas sebagaimana digambarkan dalam kualitas insan cita HMI. Soal mutu dan kualitas adalan konsekuensi logis dalam garis independen HMI harus disadari oleh setiap pimpinan dan seluruh anggota-anggotanya adalah suatu modal dan dorongan yang besar untuk selalu meningkatkan mutu kader-kader HMI sehingga mampu berperan aktif pada masa yang akan datang.
Wabilahittaufiq wal hidayah


Nilai–Nilai Dasar Perjuangan





I.  Dasar-dasar Kepercayaan
Manusia memerlukan satu bentuk kepercayaan. Kepercayan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara kepercayan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah atau dengan cara yang salah bukan saja tidak dikehendaki, akan tetapi juga berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lainnya, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja di antaranya yang benar. Di samping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian kenyataan menun-jukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban-peradaban dan kemajuan manusia. Di sinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tata nilai guna menopang peradaban manusia, tetapi pula nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian (syahadat) Islam yang kesatu: Tidak ada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “tidak ada Tuhan”, meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “selain Allah”, memperkecualikan kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu, dimaksudkan agar manusia membebaskan diri dari segala belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, pencipta segala hal yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena  kemutlakan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian hakekat  Tuhan sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan , manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang ketuhanan.  Dan tata nilai yang lebih tinggi namun tidak bertentangan dengan insting dan indera.
 Sesuatu yang diperlukan itu adalah wahyu yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri Kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ke tingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada orang tertentu yang memenuhi syarat yang dipilih Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para rasul itu untuk menyampaikan kepada seluruh manusia. Para rasul dan nabi itu telah lewat dalam sejarah, sejak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa atau Yesus anak Maryam sampai kepada Muhammad SAW. Muhammad adalah rasul penghabisan, jadi tiada rasul lagi sesudahnya. Jadi para nabi dan rasul itu adalah manusia biasa-biasa dengan kelebihan mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci al-Quran. Selain berarti “bacaan”, kata al-Quran juga berarti kumpulan atau kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun secara garis besar, al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun meliputi mengandung keterangan-keterangan mengenai segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia, sampai pada hal-hal ghaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain.
Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaranNya, manusia harus berpegang pada ayat al-Quran, dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut umat manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaranNya yang merupakan garis-garis besar jalan hidup yang mesti diikuti manusia. Tentang Tuhan antara lain: Surat al-Ikhlash menerangkan secara singkat: “Katakanlah; Dia itu Allah Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh harapan”. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya dari segala sifat kesempurnaan yang selayak-layaknya bagi yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah Yang Pertama dan Yang Penghabisan, Yang Lahir dan Yang Bathin, dan “Kemana pun manusia berpaling maka di sanalah wajah Tuhan”. “Dan Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada”. Jadi Tuhan tidak terikat dengan ruang dan waktu.
Sebagai “Yang Pertama dan Yang Penghabisan”, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya: sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Ia pun sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada “Persetujuan” atau ridloNya. Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (tuhan sebagai tujuan hidup yang benar diterangkan di bagian lain).
Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan juga mengaturnya dengan pasti. Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan objektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan dari sebaik-baik pencipta, maka alam mengandung kebaikan pada diriNya dan teratur secara harmonis. Nilai ini diciptakan untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya. Maka alam dapat dan harus dijadikan onjek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnah Allah) yang berlaku di dalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri.
Jika kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam itu tidak mempunyai konsistensi yang riil dan objektif, melainkan semua palsu dan atau maya dan sekedar emanasi atau pancaran dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau Nirwana. Juga bukan seperti dikatakan filsafat agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan objektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan Pencipta atau peniadaan Tuhan adalah sudut dari materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan makhlukNya yang tertinggi. Sebagai makhluk tertinggi manusia dijadikan khalifah atau wakil Tuhan di bumi. Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk kemakmurkannya. Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia di dunia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut sejarah. Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau “rajanya”
Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunnah Allah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk terhadap sunnatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan tidak terlalu tunduk kepada sunnatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri. Ketidakpatuhan itu disebabkan sikap menentang atau karena kebodohannya. Hukum dasar alami dari segala yang ada inilah “Perobahan dan perkembangan”, sebab: segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembanganNya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya. Segala sesuatu ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu. Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menuju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu. Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenaranya.
Oleh sebab itu hidup yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan ilmu. Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang  wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan ilmu tentang manusia (sejarah). Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan kepadanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan di muka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai tuhan dan tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap mempertuhankan dan mensucikan Tuhan haruslah hanya ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang Maha Esa.
Ini disebut al-Tawhid dan lawannya disebut as-syirk, artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian. Maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban, kemanusiaan yang menuju kebenaran.
Sesudah sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah hari kiamat. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga hari agama, atau yaum al-din, dimana Tuhan menjadi satu-satunya Pemilik dan Raja. Disitu tidak lagi terdapat kehidu-pan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada ialah pertanggungjawaban individual manusia yang bersifat mutlak dihadapan Illahi atau segala perbuatannya dahulu didalam sejarah. Selanjutnya kiamat merupakan “Hari Agama”, maka tidak ada yang mungkin kita ketahui selain dari yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya/kehidupan akhirat yang non historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-kejadian.

II.Pengertian-pengertian Dasar tentang Kemanusiaan
Telah disebutkan di muka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan makhluk yang tertinggi dan adalah wakil Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanief).
Dhamier atau hati nurani adalah pemancar keinginan kepada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan manusia dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatannya. Nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliyah yang kongkret. Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan  yang berperikemanusiaan (fitri sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya didalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jahat) ia menderita kepedihan. Hidup yang penuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan ke arah kemajuan-kemajuan baik yang mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya. Dia diliputi semangat mencari kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan. Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom, hikmah). Dia berpengalaman luas, berfikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya. Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf. Keutamaan ini merupakan kekayaan kemanusiaan yang menjadi milik dari pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan psikisnya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individual dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat, hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama umat manusia.
Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik ataupun dunia akhirat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran. Dia adalah seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari kecenderungannya yang suci dan murni. Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberikannya kebahagiaan. Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan yang ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keihlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan. Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.

III.   Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir)
Keikhlasan yang insani itu tidak ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam pengertian kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang dari kemauan sebaliknya. Keikhlasan adalah gambaran terpenting dari kehidupan manusia sejati. Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (eksternal) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akhirat. Dalam pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul secara individual, dan komunal sekaligus. Sedangkan dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, melainkan hanya menerima akibat baik dan buruknya dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akhirat tidak terdapat pertanggungjawaban bersama tetapi hanya ada pertanggungjawaban perseorangan (mutlak). Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup di tengah alam dan mensyarakat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.
Jadi individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir dari kemanusiaan, serta letak kebenarannya dari nilai kemanusiaannya itu sendiri. Karena individu adalah penanggungjawab terakhir dan mutlak dari awal perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari kemanusiaan. Kenyataan lain, sekalipun bersifat sekunder ialah individu hidup dalam suatu hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup di tengah alam dan sebagai makhluk sosial hidup di tengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam konteks hidup di tengah dan masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi dari kemanusiaan  tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas bagi kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap yang menguasai alam. Hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya “keharusan universal” atau “kepastian hukum” dan takdir. Jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam konteks hidup di tengah alam dan masyarakat di mana terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukkan, maka apakah bentuk hubungan yang harus dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan  terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif dari kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kreatif manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan ikhtiar, artinya pilihan merdeka.
Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, menusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan pertanggungjawaban pribadi dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merobah dunia dan dirinya sendiri. Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir namun manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
Manusia tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum itu menjadi kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan, jiwa tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak pula terlalu membanggakan diri karena suatu kemujuran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada diri sendiri, melainkan juga kepada keharusan universal itu.

IV.  Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan
Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhlasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk kepada suatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan berarti pengabdian kepadaNya.
Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup, apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak dari hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan bahasa dan kulturil, kita sebut kebenaran mutlak itu Tuhan. Kemudian sesuai dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah. Karena kemutlakanNya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran. Maka Dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran Yang Maha Benar adalah pada hakekatnya pikiran tentang Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu seorang manusia merdeka ialah yang berketuhanan Yang Maha Esa, Keikhlasan tiada lain ialah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan Yang Maha Esa., yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau “ridha” dariNya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti bahwa segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung di dalam guna mendapatkan persetujuan atau ridha kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan “Karena Allah” itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan.
Kata iman berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat pengabidian diri kepadaNya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pelakunya disebut muslim. Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka dan menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semangat tauhid (memutuskan pengabdia hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas. Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya dari keseluruhan (totalitas) punya kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality), itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi, antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri membela kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen harmonis pada dirinya sendiri: jadi berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakekat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata. Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia “amal saleh” (harfiah; pekerjaan selaras dalam hal ini selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung dari iman. Jadi Ketuhanan Yang Maha Esa memancar dalam prikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah lanjutan kecintaan kepada kebenaran, maka tidak ada peri kemanusiaan tanpa ketuhanan Yang Maha Esa. Peri kemanusiaan tanpa ketuhanan adalah tidak sejati. Oleh karena itu semangat ketuhanan Yang Maha Esa dan semangat mencari Ridho dariNya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban.
Syirik merupakan kebalikan dari tauhid, secara harfiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang mengadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan. Pada hakekatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik. Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motive yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya. Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
“Musyrik” adalah pelaku dari syirik. Seorang yang menghambakan diri kepada selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan. Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sama atau setingkat dengan Tuhan. Kedua pelaku itu merupakan pemnentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Maka sikap berkemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (jwajar) ialah yang memandang manusia tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepadaNya. Dia selalu menyimpn i’tikad baik dan lebih baik (ihsan), maka kebutuhan menimbulkan sikap yang adil dan baik kepada manusia.

V. Individu dan Masyarakat
Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya, dan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk hubungan-hubungan tertentu. Maka dalam masyarakat itulah kemerdekan asasi diwujudkan. Tetapi justru karena adanya kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedan antara suatu pribadi dengan lainnya. Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri, sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda. Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya. Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya. Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah makhluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dengan keinginannya yang terbatas dibawah sadar yang jika dilakukn pasti merugikan orang lain. Keinginan tak terbatas sebgai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu. Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan, persamaan antara hak sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang kemerdekaan tak terbatas tidak dapat dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, Kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas pihak yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan keadilan. kemerdekaan  dan keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya, sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia.
Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak dirobah. Hubungan yang benar antara manusia dan sejarah bukanlah penyerahan pasif, tetapi sejarah ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala (akibat baik) bagi suatu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia. Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiarnya dalam hidup ini (dalam sejarah) dan dalam hidup kemudian (sesudah sejarah). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuannya dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan. Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan–jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja untuk mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk memperbaiki hubungan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong royong ini ialah kesetiakawanan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang.

VI. Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
   Telah kita bicarakan tentang hubungan antara individu dan masyarrakat dimana kemerdekaan dan pembatasan kemerdekaan saling bergantung, dan dimana perbaikan kondisi masyarakat tergantung kepada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika kemerdekan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak terbatas), maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan bebas segala keinginan pribadinya. Akibatnya adalah pertarungan antara keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dan kekacauan atau anarchi, sudah barang tentu hal itu menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusiaan. Sebab itu harus ditegakkan keadilan dalam masyarakat. Siapakah yang harus menegakkan keadilan dalam masyarakat, sudah pasti adalah masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan.
   Kualitas terpenting yang harus dimiliki, rasa kemanusiaan yang tinggi, sebagai pancaran dari kecintaannya yang terbatas kepada Tuhan. Disamping itu diperlukan kecakapan yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pemimpin masyarakat. Memimpin ialah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadaran akan tanggung jawab sosial.
   “Negara” adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan “pemerintah” adalah susunan pimpinan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama berkewajiban menegakkan keadilan. Maksud semula dan fundamental dari didirikannya negara dan pemerintahan ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negaranya dari kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia, sebaliknya setiap orang harus mengambil bagian yang bertanggung jawab dalam masalah-masalah negara atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
   Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada di dalamnya haruslah memerintah dan memimpin diri sendiri. Oleh karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari kekuatan masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah “demokratis”, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaannya atas persetujuan rakyat melalui musyawarah dan dimana rasa keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu. Kekuatan yang sebenarnya dalam negara ada di tangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab kepada rakyat.
   Menegakkan keadilan mencakup penguasaan keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip kegotong-royongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keasilan adalah amanat rakyat kepada pemerintah yang mesti dilaksanakan. Ketaatan rakyat pada pemerintah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (kebenaran mutlak). Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
   Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau pembagian kekayaan di antara anggota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap orang dapat memperoleh bagian yang wajar dari kekayaan atau rezeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perkembangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi di satu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa di lain pihak. Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya apabila sedah mencapai batas maksimal pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinaskan kemanusiaan dan peradaban.
   Dalam masyarakat yang tidak adil, kekayaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukan adanya perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku dari kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi  sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada di pihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dengan yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menang terhadap kebatilan, maka pertentang itu akan disudahi dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam masyarakat.
   Kejahatan dalam bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh “kapitalisme”. Dengan kepitalisme seseorang dapat mudah memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerja dan hidup kepada mereka. Oleh karena itu menegakkan keadilan mencaku pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan kepada sekelompok kecil masyarakat. Sesudah syirik kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan beserta penggunaannya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan. Maka menegakan keadilan inilah membimbing manusia kearah tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat “amar ma’ruf” dan pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia, kepada kebenaran asasi dan rasa kemanusiaan “nahi mungkar” .Dengan perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi atau cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kemanusiaan diperbolehkan (yang ma’ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang mungkar diharamkan).
   Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam masyarakat yang tidak menjalankan prinsip ketuhanan Yang Maha Esa, dalam hal ini pengakuan berketuhanan Yang Maha Esa tetapi tidak melaksanakannya, sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai yang dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata.
   Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat untuk tunduk dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital ttapi kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan kemiskinan.
   Oleh karena itu menegakkan keadilan buklan saja dengan amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana diterangkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar tetap menyintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan adanya Tuhan. “Sembahyang” merupakan pendidikan yang kontinu, sebagai bentuk formil peringatan kepada Tuhan. Sembahyang yang benar akan sangat efektif dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah kekejian dan kemungkaran. Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang benar. Sembahyang menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara intrinsik pada rohani, manusia yang mendalam, yaitu kebutuhan spiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak. Pengabdian itu juga tidak tersalurkan secara benar kepada Tuhan Yang Maha Esa, tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain. Dan membahayakan kemanusiaan.                           
Dalam hubungan itu telah terdahulu keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhaap kemanusiaan. Dalam masyarakat, yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan kaya miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas-batas kewajaran dan kemanusiaan dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan dibenarkannya pemilikan pribadi (privat ownership) atas harta kekayaan dan adanya perbedaan-perbedaan tak terhindarkan dari keemampuan-kemampuan pribadi, fisik maupun mental. Walaupun demikian usaha-usaha kearah perbaikan dalam pembagian rezeki kearah yang merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir masalah perbedaan kaya dan miskin. Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh secara benar, sah dan halal saja. Sedang harta yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umu guna manfaat bagi rakyat dengan jalan pentitaan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, dimana penindasan ataas kemanusiaan oleh manusia dihapus.
Sebagaimana ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika digunakan hak itu tidak bertentangan. Pemilikan pribadi menjadi batal dan pemerintah berhak mengajukan konfikasi. Seseorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu, yaitu dalam batas tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata-rata atau israf yang bertentangan dengan prikemanusiaan. Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat (taqti) merusakan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekukan sebagaian dari kekayaan umum yang dapat digunakan untuk manfaat bersama.
Hal itu semuanya merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan. Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberikan yang wajar daripadanya. Pemilikan oleh seseorang  (secara benar) hanya bersifat relatif sebagaimana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki Tuhan, untuk kepentingan umum. Maka kalau terjadi kemiskinan, orang-orang miskin diberi hak atas bagian harta orang-orang kaya, terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga. Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya dapat mengatur hidupnya secara terhormat sesuai dengan keinginan-keinginannya untuk dapat menerima tanggung jawab atas kegiatan-kegiatannya. Dalam prakteknya hal itu berarti bahwa pemerintahharus membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah pendidikan kecakapan yang wajar, kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.

VII. Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
   Dari seluruh uraian yang telah dikemukakan, dapatlah dikumpulkan dengan pasti bahwa inti kemanusiaan yang suci ialah iman dan kerja kemanusiaan atau amal saleh. Iman dalam pengertaian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikan satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap prikemanusiaan. Sikap prikemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang berkesesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna untuk sesamanya. Tetapi bagaimana hal itu harus dilakukan oleh manusia?
   Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerak kedepan demikian perjalanan umat manusia atau sejarah gerak maju kedepan. Maka semua nilai dalam kehidupan relatif adanya berlaku untuk sesuatu tempat dan sesuatu waktu tertentu. Demikianlah sesuatu itu berubah, kecuali tujuan akhir dri segala yang ada, yaitu kebenaran mutlak (Tuhan). Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan. Oleh karena itu manusia berikhtiar dan mereka ialah yang bergerak. Gerak itu tidak lain dari gerak maju ke depan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak statis. Dia bukanlah seorang tradisionalis, apalagi reaksioner. Dia menghendaki perobahan terus-menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencari kebenaran-kebenaran selama hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan ditemukan di dalam alam dari sejarah umat manusia.
   Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun relatif, namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sajarah yang mesti dilalui oleh umat manusia dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri. Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan apat berjalan di atas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikannya kepada kepatuhan yang tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan iman dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi.
   Ilmu pengetahuan ialah pengetian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia deangan alam sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat, guna dapat mengarahkannya pada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya yang agar dapat menguasai dan menggunakannya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi umat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kamampuan intelektualitas atau ratio. Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap. Hukum sejarah yang tetap (sunnatullah untuk sejarah) garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kamnusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang darinya dengan menuruti hawa nafsu. Tetapi cara-cara perbaikan hidup hingga terus-menerus maju ke arah yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang. Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaedah-kaedah umumnya dan membimbingnya ke arah kamajuan dan kebaikan.

VIII. Kesimpulan dan Penutup
   Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sebagai berikut:

a)    Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan merdeka serta kecintaan kepadaNya yaitu taqwa. Iman dan taqwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu memancar dengan sendirinya dakam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal soleh. Iman tidak memberi apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam berperadaban dan berbudaya.

b)    Iman dan taqwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadat atau pengabdian formil kepada Tuhan. Ibadat mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang teguh kepada kebenaran sebagaimana yang dikehendaki oleh hati nurani yang hanief. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara ibadat menjadi wewenang penuh agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat yang terus menerus kepada Tuhan mentadarkan mansusia  akan kedudukannya ditengah alam dan masyarakar sesamanya. Ia tidak melebihkan sehingga kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan kemanusiaan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai makhluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun  orang lain. Dengan ibadat manusia dididik untuk memiliki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah ikhlas yaitu kemurnian pengabdian kepada kebenaran semata-mata.

c)    Kerja kemanusiaan atau amal soleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yang sungguh-sungguh secara esensil menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang  maupun waktu yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usah itu ialah amar ma’ruf, di samping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha-usaha kearah peningkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.

d)    Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan “jihad”yaitu sikap hidup berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan, dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran dan pengorbanan. dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh dan kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi, dan oleh sikap tegas kepada musuh-musuh dan kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakan kepada orang atau golongan lain.

e)    Kerja kemanusiaan atau amal soleh itumerupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuangan kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu manusia harus mengetahui arah yang benar dari perkembangan peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain,manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuan-nya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan menghancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karuania Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahuan harus didasari dengan sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan di antaranya yang baik.

f)     Dengan demikian tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu : “beriman, berilmu, dan beramal”.***



   MENUJU PERMADANI
[MENUJU Peradaban Madani]




Madinah








Madinah dalam bahasa Arab adalah sama dengan polis dalam bahasa Yunani. Maka, ketika kaisar Constantin membuat kota baru untuk ibu kota Romawi, dan ia menemukannya di tepi selat Bosphorus, ia pun memberinya nama Constantinopolis (Kota Constantin)—yang sekarang menjadi Istanbul. Seandainya Rasulullah dulu berbahasa Yunani, maka Madinah itu akan memperoleh nama Prophetopolis, Kota Nabi. Dari polis inilah kemudian terambil kata-kata politik, sehingga dari perkataan politik itu sendiri sudah tergambar konsep kehidupan teratur sebuah kota. Karena itu tidak meng­herankan jika yang dilakukan pertama kali oleh Rasulullah adalah mendirikan sebuah negara. Negara yang didirikan Nabi itu mula-mula adalah sebuah negara kota (city state), yang kemudian diperluas meliputi seluruh Jazirah Arabia. Kelak bahkan jauh diperluas lagi oleh para sahabat menjadi suatu imperium dunia dibandingkan kekaisaran Romawi atau Byzantium dalam zaman keemasannya.
Adapun perkataan lain untuk peradaban dalam bahasa Arab, selain madânîyah, ialah hadlârah, yang satu akar kata dengan hâdlirHadlârah adalah konsep kehidupan menetap di suatu kota untuk menciptakan kehidupan yang teratur, bukan kehidupan nomad atau berpindah-pindah. Hadlârah merupakan lawan dari badâwah, yang artinya daerah kampung (tetapi bukan kampung seperti di negeri kita, melainkan kampung di padang pasir, yaitu orang-orang yang pola kehidupannya berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain; karena itu padang pasir dalam bahasa Arab juga disebut bâdiyah). Dari kata badâwah itulah diambil perkataan badawi, yang kemudian menjadi badui, artinya orang kampung dengan konotasi orang yang tidak begitu terpelajar.
Pandangan mengenai peradaban inilah yang menjadikan agama Islam, dalam tinjauan sosiologis, sering disebut sebagai agama yang berorientasi urban. Islam adalah agama kota, agama kehidupan teratur. Melalui hijrah, Nabi membangun Masyarakat madani, yang bercirikan egalitarianisme, penghargaan berdasarkan prestasi bukan prestise, keterbukaan partisipasi seluruh anggota masya­rakat, dan penentuan kepemim­pinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan.


Masyarakat Berperadaban







Sebagai kaum Muslim, penting bagi kita merenungi sebuah cita-cita untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk mewujudkan masyarakat berperadaban, masyarakat madani, di negeri kita yang tercinta, Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan terbentuknya masyarakat madani merupakan bagian mutlak dari wujud cita­cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adalah Nabi Muhammad, Rasulullah Saw. sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat berperadaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Makkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah mem­berinya petunjuk untuk hijrah ke Yatsrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Makkah. Sesampai di Yatsrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, beliau disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala‘a ‘l-badr-u ‘alaynâ (Bulan purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian, setelah mapan dalam kota hijrah itu, beliau ubah nama Yatsrib menjadi al-Madînah, artinya “kota”, yang kemudian seringkali dilengkapkan menjadi Madînat al-Nabi (“Madînat-u ‘l-Nabi”), Kota Nabi.
Seperti dijelaskan sebelumnya, secara konvensional perkataan “madinah” memang diartikan sebagai “kota”. Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna “peradaban”. Dalam bahasa Arab “peradaban” dinyatakan dalam kata-kata “madanîyah” atau “tamaddun”, selain dalam kata-kata “hadlârah”. Karena itu tindakan Nabi Saw. mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukung beliau yang terdiri dari kaum Muhâjirîn dan kaum Anshâr hendak mendirikan dan membangun masyarakat beradab.
Tidak lama setelah menetap di Madinah itulah Nabi Saw. secara konkrit meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan bersama semua unsur penduduk Madinah menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Mitsâq al-Madînah). Dalam dokumen itu umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama. Di Madinah itu pula, sebagai pembelaan kepada masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri menghadapi musuh – musuh peradaban. Jika kita telaah secara mendalam firman Allah yang merupakan deklarasi izin perang kepada Nabi dan kaum beriman itu, kita akan dapat menangkap apa sebenarnya inti tatanan sosial yang ditegakkan Nabi atas petunjuk Tuhan:
Diizinkan berperang bagi orang-orang yang diper­angi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya; dan sesungguhnya Allah amat Berkuasa untuk menolong mereka.
Yaitu mereka yang diusir dari kampung halaman mereka secara tidak benar, hanya karena mereka berkata: “Tuhan kami ialah Allah”. Dan kalaulah Allah tidak menolak (mengimbangi) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya runtuhlah biara-biara, gereja-­gereja, sinagog-sinagog dan masjid-znasjid, yang di situ banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa saja yang menolong-Nya (membela kebenaran dan keadilan). Sesungguhnya Allah Maha Kuat, lagi Maha Kuasa.
Yaitu mereka, yang jika Kami berikan kedudukan di bumi, menegakkan sembahyang serta menunaikan zakat, dan mereka menyuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan. Dan bagi Allah jualah kesudahan segala perkara (Q., 22:39-41)
Dari firman deklarasi izin perang kepada Nabi dan kaum beriman itu jelas sekali bahwa perang dalam masyarakat madani dilakukan karena keper­luan harus mempertahankan diri, melawan dan mengalahkan kezaliman. Perang itu juga dibenarkan dalam rangka membela agama dan sistem keyakinan, yang intinya ialah kebebasan menjalankan ibadat kepada Tuhan. Lebih jauh, perang yang diizinkan Tuhan itu adalah untuk melindungi lembaga­-lembaga keagamaan seperti biara, gereja, sinagog dan masjid (yang dalam lingkungan Asia dapat ditambah dengan kuil, candi, kelenteng, dan seterusnya), dari kehancuran. Perang sebagai suatu keterpaksaan yang diizinkan Allah merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang diciptakan Allah untuk menjaga kelestarian hidup manusia. Seperti dunia sekarang ini yang selamat dari “kiamat nuklir” karena perimbangan kekuatan nuklir antara negara-negara besar, khususnya Amerika dan Rusia (yang kemudian masing-masing tidak berani menggunakan senjata nuklirnya – yang disebut “kemacetan nuklir”), masyarakat pun akan berjalan mulus dan terhindar dari bencana jika di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan secara mantap dan terbuka. Dengan memahami prinsip-prinsip itu kita akan juga dapat memahami prinsip-prinsip masyarakat madani yang dibangun Nabi di Madinah.
Membangun masyarakat yang berperadaban itulah yang Rasulullah Saw. lakukan selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis, dengan landasan taqwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya. Taqwa kepada Allah dalam arti semangat Ketuhanan Yang Mahaesa, yang dalam peristilahan Kitab Suci juga disebut semangat rabbânîyah (Q., 3:79) atau ribbîyah (Q., 3:146) Inilah habl-un min-a ‘l­-Lâh-i, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista.

Menuju
Peradaban Madani






Masyarakat madani yang dibangun Nabi, oleh Robert N. Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka, disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern sehingga, setelah Nabi sendiri wafat, tidak bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi.
Masyarakat madani warisan Nabi Saw. yang bercirikan antara lain egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan, setelah Nabi wafat hanya berlangsung selama tigapuluh tahun masa khilâfah râsyidah. Sesudah itu, sistem sosial madani digantikan dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam, kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis. Sistem dinasti geneologis itu tidak dikenal dalam ajaran Islam. ‘À’isyah, janda Nabi yang disegani karena ilmunya, yang menjadi tokoh wanita Islam klasik paling berpengaruh dan menjadi guru banyak sekali pemimpin zaman itu, menamakan sistem dinasti geneologis itu sebagai Hirqalîyah atau “Hirakliusisme”, mengacu pada Kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu, seorang tokoh sistem dinasti geneologis.
Begitulah keadaan dunia Islam, yang terus menerus hanya mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang, di mana sebagian negeri Muslim menerapkan konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya yang dipilih. Karena itu justru dalam zaman modern ini mungkin prasarana sosial dan kultural masyarakat madani yang dahulu tidak ada pada bangsa manapun di dunia, termasuk bangsa Arab, akan terwujud. Maka kesempatan membangun masyarakat madani menurut teladan Nabi justru mungkin lebih besar pada saat sekarang ini.
Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat Ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia, masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang pada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan Yang Maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak (Q., 4:58). Dan Nabi Saw. telah memberi teladan kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Allah itu. Apalagi Al-Quran juga menegaskan bahwa tugas suci semua nabi ialah menegakkan keadilan di antara manusia (Q., 10:47).
Juga ditegaskan bahwa para rasul yang dikirimkan Allah ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan keadilan itu (Q., 57:25). Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan juga harus ditegakkan, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua atau sanak keluarga (Q.,4:135). Bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan merugikan kita sendiri (Q.,5:8).
Atas pertimbangan ajaran itulah Nabi Saw. dalam rangka menegakkan masyarakat madani atau civil society, tidak pernah membedakan antara “orang atas”, “orang bawah”, atau pun keluarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa dahulu adalah karena jika “orang atas” melakukan kejahatan dibiarkan, tapi jika “orang bawah” melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi juga menegaskan, bahwa seandainya Fathimah, putri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan hukum dia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Masyarakat berperadaban tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepada wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan ber-îmân, percaya, mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan kebaikan kepada sesama manusia itu harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesan­kan Allah kepada para rasul, agar mereka “makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan” (Q., 23:51).

Ketulusan ikatan jiwa juga memerlukan sikap yang yakin pada adanya tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini. Ketulusan ikatan jiwa itu membutuhkan keyakinan bahwa makna dan hakikat hidup manusia pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati, dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa pada keadilan mengharuskan orang meman­dang hidup jauh ke depan, tidak menjadi tawanan keadaan di waktu sekarang dan di tempat ini (dunia) (Q., 7:169).
Tetapi tegaknya hukum dan keadilan tidak hanya memerlukan komitmen-komitmen pribadi. Komitmen pribadi, yang menyatakan diri dalam bentuk “iktikad baik”, memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam masyarakat. Sebab, bukankah masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi-pribadi para anggotanya? Apalagi terhadap para pemimpin masyarakat atau public figure, maka kebaikan iktikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan menelusuri masa lalu sang (calon) pemimpin, baik dirinya sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena itu di banyak negara seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan pengalaman hidup yang baik, melalui pengujian, bukan oleh perorangan atau kelembagaan, tapi oleh masyarakat luas, dalam suasana kebebasan yang menjamin kejujuran.