BASIC DEMAND HMI :
TELA’AH 66 TAHUN HMI DALAM MEMBANGUN BANGSA
I.
Daftar
isi – 1
II.
Indonesia
kita – 2
III.
Seperti
kita – 3
(Sejarah Pertarungan Indonesia KITA )
IV.
Baju
kita – 16
(Barisan juang KITA)
V.
Menuju
permadani – 37
(menuju peradaban madani)
INDONESIA
KITA
Sekalipun Islam merupakan agama bagi golongan terbesar
penduduk Indonesia, namun para tokoh pendiri bangsa tidak merujuk kepada
sumber-sumber ajaran dan sejarah Islam untuk wawasan mereka tentang
“negara-bangsa”. Beberapa tokoh pelopor pertama nasionalisme modern seperti
Haji Omar Said Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim, dengan bekal perlengkapan
metodologi yang mereka
peroleh dari sekolah-sekolah Belanda, menunjukkan
kemampuan cukup besar untuk memahami esensi komunitas nasional terbuka dan
egaliter partisipatif. Tetapi selain mengalami kesulitan dalam usaha menyatakan
pokok-pokok pikiran itu dalam kerangka cara pandang moderm dengan idiom-idiom
dan jargon-jargonnya sendiri yang relevan, Tjokro dan Salim juga menghadapi
kenyataan bahwa tidak ada satupun negara dalam lingkungan “dunia Islam” yang
merupakan wujud kontemporer komunitas nasional terbuka dan egaliter
partisipatif. Yang ada ialah justeru model-model kekuasaan totaliter, despotik,
dan zalim. baik yang kerajaan maupun yang secara formal merupakan negara
republik. Maka dalam hal “modern national community building”, para
tokoh Indonesia tidak melihat contohnya dari yang ada di lingkungan “dunia
Islam”, tetapi justru dari lingkungan “dunia barat”. Pendidikan modern telah
membantu mereka memahami konsep-konsep nasionalisme modern, yang berlawanan
dengan konsep-konsep kekuasaan para raja feodal yang selama ini mereka kenal.
Tentang sistem presidensial
Para tokoh pendiri negara kita merupakan komunitas
intelektual modern Indoneseia angkatan pertama, dan akses mereka kepada dunia
pemikiran modern telah dengan kuat sekali mewarnai gagasan-gagasan mereka
tentang masalah kebangsaan dan kenegaraan, serta tentang cara penyelenggaraan
pemerintahan dan penggunaan kekuasaan. Kutipan-kutipan dari karya para pemikir
Barat bertaburan dalam tulisan-tulisan para tokoh itu. Pikiran-pikiran politik
John Locke, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Montesquieu, Rousseau, Rénan,
dan lain-lain, juga ideologi-ideologi Karl Marx, Friesdrich Engels, Lenin, Sun
Yat Sen, sangat mempengaruhi pikiran-pikiran para pendiri bangsa. Mereka itu
tidak berasal hanya dari kalangan yang secara salah kaprah disebut
“nasionalisme sekuler” seperti Sukarno, Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir,
tetapi juga dari kalangan yang disebut “nasionalis Islam” seperti Haji Omar
Said Tjokroaminoto, Haji Agus Salim dan Muhammad Natsir. Titik temu mereka
semua ialah aspirasi demokrasi modern. Mereka menguasai bahasa-bahasa Eropa
seperti Inggris, Perancis dan Jerman—selain bahasa Belanda—sehingga wawasan
mereka menjadi lebih kaya dan luas dengan bahan-bahan dari berbagai sumber.
Disebabkan oleh beberapa segi perkembangan sejarahnya,
Amerika Serikat dengan Presiden Franklin Delano Roosevelt selaku tokoh utamanya
saat itu, harus diakui telah menjadi rujukan utama dibanding dengan
negara-negara lain. Roosevelt, yang oleh majalah-majalah internasional edisi
millennium yang lalu dipandang sebagai pribadi paling berpengaruh selama abad
yang lalu (disusul oleh Mahatma Gandhi dan lain-lain), adalah seorang anti
imperialisme dan kolonialisme. Ia mempunyai cita-cita membangun kembali dunia
yang bebas dari penjajahan, setelah Perang Dunia II. Roosevelt adalah tokoh
terpenting di balik konferensi di Bretton Woods, New Hampshire, 1994. Dalam
konferensi Bretton Woods itu diputuskan untuk mendirikan badan “Dana Moneter
Internasional” (IMF) dan Bank Internasional untuk Pembangunan Kembali dan
Pengembangan (IBRD, International Bank for Reconstruction and
Development, yang lebih dikenal sebagai “Bank Dunia”). Lepas dari
kinerja nyata kedua badan keuangan internasional itu yang akhir-akhir ini
menjadi sasaran kecaman pedas berbagai kalangan, Roosevelt harus diingat sebgai
tokoh yang bermaksud menggunakannya untuk tujuan-tujuan politik global yang
lebih mulia, yaitu membangun kembali dunia yang bebas dari kolonialisme dan
imperialisme, setelah Perang Dunia II. Seandainya sempat dilaksanakan,
pembangunan kembali dunia itu akan sama dengan model Marshall Plan, 1947,
untuk Eropa, “a highly successful program of U.S. economic and
technical assistance to 16 European countries, to permit them to restore their
productive capacity after the disruption of World War II.” Tetapi
Roosevelt tidak sempat melaksanakan niatnya, karena ia meninggal mendadak
pada awal jabatan kepresidenannya yang keempat (12 April 1945), dan digantikan
oleh wakilnya, Harry. S. Truman.
Sedikit cuplikan sejarah mutakhir Amerika itu cukup
penting dikemukakan, karena berpengaruh besar sekali kepada pertumbuhan awal
negara Indonesia. Presiden Truman adalah penguasa Amerika yang memutuskan
untuk membuat bom atom dengan proyek penelitian super rahasia, “Manhattan
Project” di Universitas Chicago yang dipimpin oleh Enrico Fermi.
Setelah berhasil dibuat, bom itu ia perintahkan untuk dijatuhkan di atas dua
kota industri Jepang padat penduduk, Hiroshima dan Nagasaki. Tindakan itu
dicatat dalam sejarah kemanusiaan sebagai tragedi yang sampai sekarang belum
ada tolak bandingannya, suatu pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang
tiada taranya. Banyak orang berspekulasi bahwa kekejaman itu tidak akan pernah
terjadi. Tetapi apapun penilaian orang, kenyataan ironis telah terjadi, yaitu
bahwa peristiwa jatuhnya bom atom atas dua kota di Jepang itu telah membuka
peluang untuk diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945,
puncak perjuangan bangsa yang telah lama dinanti-nanti.
Truman juga meninggalkan masalah yang ikut menyulitkan
Indonesia. Menurut banyak kalangan, ia dianggap paling bertanggung jawab atas
terjadinya eskalasi perang dingin antara “Barat” dan “Timur” sesudah Perang
Dunia II. Dalam hal ini pun banyak orang berpendapat, seandainya saat itu
Roosevelt masih hidup, mungkin perang dingin tidak akan separah akibat
kebijakan Truman. Walaupun begitu, sisa-sisa kebijakan Roosevelt banyak yang
bertahan. Amerika, bersama dengan Australia (pemerintahan Partai Buruh),
tergolong negara-negara Barat yang banyak membantu kemerdekaan Indonesia.
Ketika pada 10 November 1945 kota Surabaya dibombardir oleh tentara Inggris dan
Belanda, Amerika dan Australia adalah dua negara Barat yang aktif menghalangi
atau melerai.
Karena penampilan dan komitmen Roosevelt yang
mengesankan, beberapa tokoh pendiri negara Indonesia cukup banyak mendapat
ilham dari pengalaman Amerika saat itu dalam hal negara dan seni kenegaraan (state
and statecraft). Selain memilih bentuk republik, para tokoh Indonesia juga
menyadari perlunya dirumuskan dengan jelas nilai-nilai asasi kenegaraan dalam
dokumen utama Negara. Nilai-nilai asasi itu mereka rumuskan menjadi dasar-dasar
negara yang kemudian disebut Pancasila, yang tertuangkan dalam dokumen primer
Republik Indonesia, suatu dokumen yang dirancang sebagai naskah Deklarasi
Kemerdekaan. Meskipun akhirnya, karena beberapa sebab, tidak digunakan sesuai
rencana semula – dan Deklarasi Kemerdekaan diganti dengan Proklamasi
Kemerdekaan yang naskahnya ditulis Bung Karno secara tergesa-gesa – namun semangat
dokumen primer itu dipertahankan dan kini menjadi Mukadimah Undang-Undang
Dasar. Dengan mencontoh Amerika, para pendiri negara juga merancang pelaksanaan
demokrasi dengan pemerintahan presidensial periodik. Mereka juga menganut
prinsip pluralisme, dan berpegang kepada asas kebebasan-kebebasan menyatakan
pendapat, berkumpul dan berserikat. Keseluruhan wawasan itu juga telah menjadi
semangat umum setiap UUD yang pernah dimiliki Republik sepanjang sejarahnya
sampai sekarang, seperti UUD RIS dan UUDS, selain UUD 1945 sendiri, yang
sekarang ini berlaku.
Tentang sistem parlementer
Dengan adanya Proklamasi, suatu
deretan eksperimen melaksanakan pikiran-pikiran kenegaraan para founding
father itu dimulai. Tetapi ternyata bahwa mereka membentur tembok
logika diplomasi internasional pasca Perang Dunia II. Indonesia adalah “milik”
pihak yang kalah, yaitu Jepang, karena itu harus diserahkan kembali kepada
pihak pemenang, yaitu Sekutu, sebagai “harta rampasan perang”. Percobaan melaksanakan
pikiran-pikiran kenegaraan “revolusioner” itu berlangsung hanya tiga bulan,
untuk kemudian diganti, secara terpaksa, dengan sistem lain yang oleh Bung
Karno dan Bung Hatta sebagai presiden dan wakil presiden simbolik, tanpa
kekuasaan, dan Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, pemegang kekuasaan yang
sebenarnya. Dalam salah satu tulisannya sebelum kemerdekaan, Bung Karno
mengecam habis sistem parlementer sebagai sistem yang menguntungkan golongan
berduit dari kalangan borjuis, dan menindas rakyat.
Tujuan penggantian sistem
presidensial menjadi sistem parlementer itu memang telah menghasilkan suatu
terobosan diplomatik. Didahului oleh perundingan Roem-Roiyen yang menghasilkan
Konferensi Meja Bundar, untuk penyerahan resmi kedaulatan dari Kerajaan Belanda
kepada Republik Indonesia, akhirnya, pada 27 Desember 1949, kemerdekaan
Indonesia mendapat pengakuan resmi internasional. Namun begitu, penerapan
sistem parlementer telah menimbulkan berbagai masalah nasional, yang bersumber
dari ketidakstabilan negara dan pemerintahan yang silih berganti dalam jangka
waktu pendek. Sebegitu jauh, penampilan terbalik “demokrasi liberal”
parlementer itu adalah pada saat pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin
Harahap, seorang tokoh Masyumi pengikut Muhammad Natsir, yang pada tahun 1955
berhasil melaksanakan pemilihan umum pertama dalam sejarah Republik Indonesia,
suatu pemilihan umum yang sangat sukses. Di luar itu, sistem parlementer lebih
banyak menyulitkan bangsa dan negara.
Tentang demokrasi terpimpin
Keadaan serba tidak menentu dari sistem parlementer
mendorong Bung Karno, Presiden (konstitusional) saat itu, mengumumkan dekrit
kembali ke UUD ’45 pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu disusul
dengan pidato kenegaraan 17 Agustus 1959 berjudul “Menemukan Kembali Revolusi Kita”,
yang populer dengan terjemah Inggrisnya, “Rediscovery of Our
Revolution”. Bagi Bung Karno, yang dimaksudkan “menemukan kembali
revolusi kita” dapat diringkaskan berupa pemerintahan yang kembali ke sistem
presidensial dari sistem parlementer. Sejak itu Presiden, dalam hal ini Bung
Karno, bukan lagi sekedar lambang negara, melainkan kepala pemerintahan.
Sistem presidensial diharapkan dapat menghasilkan pemerintahan yang kuat,
stabil dan berwibawa. Dengan begitu pembangunan nasional dapat dijalankan dengan
mantap, seperti halnya Amerika yang berhasil menjadi negara industri modern
pertama di dunia berkat kestabilan sistem presidensial.
Tetapi Bung Karno agaknya menyalahpahami dan mencampuradukan
pengertian “pemerintahan yang kuat” dengan “kepemimpinan yang kuat”.
“Pemerintahan” lebih mengacu kepada sistem, sedangkan “kepemimpinan” mengacu
kepada perorangan. Karena pandangannya itu, Bung Karno mengubah sistem
presidensial periodik lima tahunan menjadi sistem kepresidenan seumur hidup.
Kemudian Bung Karno tidak lagi memandang dirinya cukup sebagai kepala
pemerintahan atau ketua badan eksekutif negara, melainkan sebagai “pemimpin
besar revolusi”. Pemerintahan presidensial periodik yang seharusnya
dilaksanakan dengan mencontoh dan mengembangkan sistem serupa yang sudah mapan
di dunia, ia ubah menjadi “demokrasi terpimpin”. Beberapa partai politik yang
dipersatukan oleh platform demokrasi modern adalah Masyumi dan
Partai Sosialis Indonesia (PSI). Parkindo dan Partai Katolik, didukung beberapa
pribadi tokoh kalangan NU dan PNI, dan dengan restu Bung Hatta, membentuk
gerakan “Liga Demokrasi” guna menggalang kekuatan politik untuk mencegah dan
menghalangi Bung Karno meluncur ke lembah kediktatoran. Sebab, rakyat mulai
merasa kehilangan kebebasan sipilnya dan ekonomi merosot sampai hampir
membangkrutkan Negara. Politik grandiose Bung Karno dengan,
misalnya, ambisinya hendak mengganti PBB, Olimpiade, dan lain-lain, ikut
memperburuk keadaan ekonomi bangsa hingga terasa tidak tertahankan lagi oleh
rakyat. Dalam keadaan seperti itulah Bung Karno pada tahun 1965 jatuh in
disgrace - lepas dari persoalan siapa sebenarnya yang berperan dalam
proses penjatuhan itu, adil ataupun tidak adil. Sistemnya yang kemudian disebut
“Orde Lama” harus memberi jalan kepada sistem lain yang disebut “Orde Baru”.
Jatuhnya Bung Karno in disgrace banyak
diratapi tidak saja oleh bangsa Indonesia sendiri, tetapi juga oleh
bangsa-bangsa lain di seluruh dunia, khususnya “Dunia Ketiga”. Sebab Bung Karno
adalah bapak sebenarnya Republik Indonesia merdeka, dan pejuang besar untuk
membebaskan bangsa-bangsa terjajah. Namun tanpa sedikitpun mengurangi
penghargaan kepada putera terbesar bangsa Indonesia itu, kita harus menarik
pelajaran dari kelemahan manusiawi Bung Karno untuk tidak mengulangi kesalahan
yang sama. Kepada Allah Swt. kita panjatkan sebaik-baik harapan dan do’a untuk
Bung Karno, bapak kita semua.
Presiden Suharto (Jendral Purnawirawan TNI),
pengganti Presiden Sukarno, adalah seorang pribadi yang secara unik merupakan
gabungan antara penampilan lahiri yang lembut, hampir malu-malu, dengan sikap
batin dan kemauan yang keras, hampir-hampir tidak kenal kompromi. Pak Harto
menghela bangsa Indonesia keluar dari kepengapan sistem “Orde Lama” yang
menyesakkan napas, menuju sistem “Orde Baru” yang menjanjikan perbaikan. Namun
sayang, ternyata Pak Harto adalah campuran aneh antara segi-segi amat positif
dan segi-segi amat negatif. Ia cukup rendah hati untuk menyadari dan mengakui
bahwa ia tidak akan mengetahui segala-galanya berkenaan dengan kehidupan
kenegaraan, khususnya perpolitikan dan perekonomian. Maka ia mengelilingi
dirinya dengan sekelompok tenaga ahli yang merupakan golongan terdidik terbaik
pada masa itu. Ia juga nampak sebagai orang yang suka belajar dan kecerdasan
alamiahnya menjadikannya seorang yang cepat mengerti dan menguasai persoalan.
Kecerdasan alamiah Pak Harto itu juga membuatnya
menjadi seorang ahli taktik dan strategi yang sangat piawai. Hal itu dibuktikan
oleh kemampuannya bertahan dalam kekuasaan selama lebih dari tigapuluh tahun,
tanpa gejolak gawat seperti yang dialami Presiden Sukarno selama enam tahun
setelah Dekrit 5 Juli 1959. Tetapi, berbarengan dengan itu, sisi-sisi
mencemaskan dari Pak Harto juga menyembul ke permukaan. Jiwa dan gaya
kemiliterannya tetap bertahan dalam suasana tanggungjawab pemerintahan sipil –
jiwa kemiliteran yang pernah membuatnya sukses besar dalam menjalankan
tugas-tugas kenegaraan sebelumnya.
Lemahnya wawasan tentang “nation-state”
Pak Harto agaknya kurang menghayati berbagai keharusan
sebuah modern nation-state sebagaimana didambakan para founding fathers.
Yaitu, keharusan menerapkan prinsip-prinsip good governance untuk
menghasilkan clean government (sehingga praktek-praktek KKN
yang sangat terkutuk itu dapat tercegah), juga prinsip-prinsip melindungi
kebebasan-kebebasan sipil, membela hak-hak asasi manusia, menegakkan kedaulatan
hukum, memperhatikan dengan sungguh-sungguh pendidikan untuk seluruh warga
negara di semua pelosok wilayah, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat. Suatu ironi besar pada Pak Harto, bahwa ia sedemikian kuat menyatakan
diri dan sistemnya terikat dengan nilai-nilai Pancasila, namun ekspresi komitmennya
kepada nilai-nilai itu hanya menghasilkan gejala verbalisme – yaitu gejala
perasaan telah berbuat karena telah sering mengucapkan dan membicarakannya.
Sementara itu, kehidupan sehari-hari marak dengan contoh-contoh tindakan dan
perilaku yang bertentangan dengan salah satu atau mungkin malah semua dari
prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan
dan Keadilan.
Demikian pula berkenaan dengan paham kemajemukan atau
pluralisme. Sadar atau tidak, Pak Harto, sama dengan Bung Karno, menunjukkan
ketidaksetiaan asas atau inkonsistensi yang mencemaskan. Selain tentang
Pancasila, Pak Harto juga sangat rajin mengingatkan kita semua tentang prinsip Bhinneka
Tunggal Ika. Tetapi dalam banyak tindakan nyata, Pak Harto menunjukkan
keinginan kuat untuk menyeragamkan kehidupan nasional, khususnya di bidang
politik dan pemerintahan. Sistem-sistem pemerintahan daerah berangsur-angsur
digiring untuk menerapkan sistem yang seragam, mengikuti model pemerintahan di
Jawa.
Tentang paham kemajemukan
Di atas semua itu, sikap Pak Harto dan sistemnya yang
menunjukkan kurangnya konsistensi berkenaan dengan paham kemajemukan, ialah
penolakannya yang keras dan kategorikal terhadap ide tentang perlunya oposisi resmi
terhadap pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Bagi
yang sempat berusaha memahami lebih mendalam, ungkapan Bhinneka Tunggal
Ika gubahan Empu Tantular itu dimaksudkan sebagai pengakuan positif
kepada keanekaragaman orientasi keagamaan dalam masyarakat, karena hakikat dan
tujuan semuanya itu satu dan sama, yaitu berbakti kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan berbuat baik kepada sesama makhluk : Tan
Hana Dharma Mangroa, tidak ada jalan kebaikan yang mendua dalam
tujuan.
Transformasi pandangan dasar itu ke bidang politik
mengharuskan masyarakat untuk menerima secara positif adanya perbedaan
orientasi politik, yang juga berarti harus tersedia ruang bagi kegiatan
oposisi. Demokrasi menuntut adanya pandangan ini pada setiap pribadi, lebih-lebih
pada setiap pribadi para pemimpin, suatu pandangan yang selaras dengan
keharusan berendah hati sehingga mampu melihat diri sendiri berkemungkinan
salah, dan orang lain yang berbeda dengan dirinya berkemungkinan benar.
Demokrasi tidak mungkin disertai dengan absolutisme dan sikap-sikap mau benar
sendiri lainnya. Demokrasi mengharuskan adanya sikap saling percaya (mutual
trust) dan saling menghargai (mutual respect) antara
sesama warga masyarakat. Di bawah pertimbangan tujuan yang lebih besar, yaitu
kemashlahatan umum, demokrasi tidak membenarkan adanya sikap all or
nothing (semua, atau tidak), take it or leave it (ambil,
atau tinggalkan), yaitu sikap-sikap serba kemutlakan-mutlakan. Sebaliknya,
seperti dalam kaedah fiqih Islam (usûl al-fiqh), yang
berlaku ialah “yang tidak semua bisa didapat tidak semua harus ditinggalkan”.
Maka demokrasi memerlukan adanya kesediaan setiap pesertanya untuk menerima
kenyataan bahwa keinginan seseorang tidak mungkin seluruhnya diterima oleh
semua orang dan dilaksanakan, melainkan hanya sebagian saja. Sebab salah satu
segi asasi demokrasi ialah “partial functioning of ideas”,
“berlakunya hanya sebagian dari ide-ide”, karena selebihnya datang dari orang
lain sesama peserta demokrasi.
Karena itu demokrasi juga menuntut adanya kesediaan
dari pihak-pihak yang bersangkutan untuk kemungkinan terjadinya kompromi atas
dasar pertimbangan prinsipil, bukan karena oportunisme. Semuanya itu merupakan
inti dan semangat sebenarnya ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dan Tan
Hana Dharma Mangroa. Maka budaya-budaya daerah harus ditempatkan
dengan penuh penghargaan begitu rupa sehingga tetap memperoleh pengakuan yang
sah sebagai bentuk-bentuk kearifan lokal yang memperkaya budaya dan kearifan
nasional. Dengan demikian, prinsip Bhinneka Tunggal Ika mendorong
berlangsungnya cultural cross fertilization, penyuburan silang
budaya, guna menghasilkan budaya nasional hibrida yang lebih unggul dan lebih
tangguh. Usaha penyeragaman, seperti biasanya dicoba lakukan oleh penguasa
totaliter, bertentangan secara diametral dengan prinsip amat mendasar dalam
kehidupan bernegara kita yang adil, terbuka dan demokratis.
Tentang pembangunan fisik ekonomi
Kembali kepada soal Pak Harto, dengan bantuan penuh
kaum teknokrat, khususnya para ahli ekonomi anggota “Berkeley Mafia”,
telah berhasil menaikkan taraf hidup rata-rata bangsa Indonesia ke tingkat yang
jauh lebih tinggi daripada masa “Orde Lama”, suatu hasil kerja yang samasekali
tidak mungkin dapat diabaikan atau diingkari. Tetapi, sebagaimana disiratkan
dalam salah satu bait lagu kebangsaan Indonesia Raya, Pak Harto dan Orde Baru
baru menyentuh bagian “bangunlah badannya”, belum menyentuh bagian “bangunlah
jiwanya”. Dengan meningkatkan taraf hidup rata-rata, Pak Harto telah membangun
sisi badan lahiri atau wadag bangsa. Tetapi dengan tidak memberi
perhatian memadai kepada keharusan-keharusan sebuah modern nation-state atau
nasionalisme yang terbuka dan egaliter partisipatif, sengaja atau tidak Pak
Harto telah menelantarkan pembangunan sisi jiwa batin bangsa. Padahal, menurut
kearifan dalam lagu kebangsaan, sisi batin adalah primer, sedangkan sisi lahir
adalah sekunder. Membangun sisi jiwa akan berimbas positif kepada pembangunan
sisi badan, suatu imbas yang lebih besar dan lebih positif daripada imbas
pembangunan sisi badan kepada sisi jiwa. Ketimpangan antara yang lahir dan
yang batin dan tiadanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat menyalahi
prinsip-prinsip tatanan hidup manusia yang benar, dan akan membawa kesulitan
besar kepada suatu bangsa. Itulah, dengan meminjam ungkapan Bung Karno, hukum
besi sejarah umat manusia. Bung Karno telah tertimpa hukum besi itu, dan selang
sekitar 30 tahun sesudahnya, hukum yang sama menimpa Pak Harto. Kita harus
menarik pelajaran dari semua itu.
Mengacu kepada drama kosmis dalam Kitab Suci,
sesungguhnya tidak ada yang dinamakan “pohon khuldi” (shajaratu
‘l-khuldi), yaitu pohon kehidupan abadi di dunia; juga tidak ada pohon
kekuasaan yang tidak bakal runtuh (mulkun lâ yablâ). Pohon serupa
itu hanya ada dalam keterangan palsu syetan tentang pohon terlarang di Surga.
Dengan keterangannya itu syetan berhasil menggoda Adam dan Hawâ,
sehingga keduanya melanggar pesan Tuhan untuk tidak mendekati pohon terlarang,
dan memakan buah pohon itu. Akibatnya, Adam dan Hawâ diusir Tuhan
turun dari Surga. Nafsu untuk hidup abadi yang kemudian mendorong orang untuk
menumpuk kekayaan “tujuh turunan” dan ambisi untuk memperoleh kekuasaan dan
berkuasa selama-lamanya demi kekuasaan itu sendiri adalah perbuatan “memakan
buah pohon hidup abadi dan kekuasaan selama-lamanya” seperti dibisikkan syetan,
dan melanggar pesan Tuhan jangan mendekati pohon terlarang. Pelanggaran itu
pasti akan berakhir dengan kenistaan. Sejarah umat manusia banyak menyaksikan
pelanggaran serupa itu, dengan akibat runtuhnya rezim-rezim, dinasti-dinasti,
dan bangsa-bangsa. Sebab semua itu akan menjerumuskan masyarakat kepada
kemerosotan moral. Kemerosotan moral dengan gejala gaya mewah berlebihan itulah
penyebab utama hancurnya negara. Sejarawan Edward Gibbon (1734-1794) juga
menggunakan pandangan itu untuk menerangkan sebab-sebab runtuhnya Kekaisaran
Romawi, dalam karya klasiknya, The History of the Decline and Fall of
the Roman Empire.
SEPERTI KITA
[Sejarah Pertarungan Indonesia KITA]
|
|
|
Berdirinya
Himpunan Mahasiswa Islam
|
|
Menangkap realitas historis dan
berbagai persoalan dan perkembangan yang mengikutinya kemudian, tampilah Lafran
Pane seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam) yang sejak menjadi mahasiswa,
aktif mengamati dan memikirkan secara seksama perkembangan sosial, politik, dan
budaya di tanah air. Lafran Pane, seroang mahasiswa STI yang baru duduk di
tingkat I, membicarakan dengan teman-temannya mengenai gagasan pembentukan
organisasi mahasiswa Islam.
Lafran Pane mengundang para
mahasiswa Islam yang ada di Yogyakarta baik yang ada di STI, Balai Perguruan
Tinggi Gajah Mada, Sekolah Tinggi Teknik (STT), guna menghadiri rapat
membicarakan maksud tersebut. Rapat dihadiri lebih kurang 30 orang mahasiswa,
di antaranya terdapat anggota PMY (Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta) dan
GPII. Rapat-rapat yang sudah berulang kali dilaksanakan belum membawa hasil
karena ditentang oleh PMY.
Dengan mengadakan rapat tanpa
undangan, secara mendadak dan dengan izin Bapak Husein Yahya (Dosen STI)
mempergunakan jam kuliah Tafsir Bapak Husein Yahya (mantan Dekan Fakultas Adab
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), diselenggarakanlah pertemuan untuk
mendeklarasikan HMI.
Ketika itu Rabu tanggal 14 Rabiul
Awal 1366H, bertepatan tanggal 5 Februari 1947, di salah satu ruangan kuliah
STI di Jalan Setiodiningratan (sekarang Jl. Panembahan Senopati), Lafran Pane
memimpin rapat dan menyatakan, “Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi
Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Sikap ini
diambil, karena kebutuhan terdapat oraganisasi ini sudah sangat mendesak. Yang
mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang
biarlah terus menentang. Toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan
berjalan. ”
Dalam rapat tersebut selanjutnya
diputuskan:
Pertama : Hari Rabu
Pon 1878, tanggal 14 Rabiul Awal 1366 bertepatan dengan 5 Februari 1947,
ditetapkan berdirinya organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Kedua : Mengesahkan
Anggaran Dasar HMI. Adapun Anggaran Rumah Tangga dibuat kemudian.
Ketiga : Membentuk
Pengurus HMI dengan komposisi
Ketua :
Lafran Pane
Wakil
Ketua : Asmin Nasution
Penulis
I : Anton Timur
Jailani
Penulis
II : Karnoto Zarkasyi
Bendahara
I : Dahlan Husein
Bendahara
II : Maisaroh Hilal
Anggota :
Suwali, Yusdi, Yusdi Ghozali, Mansyur
Fase-Fase
Pertarungan Indonesia HMI
|
|
Dalam perjalanan HMI selama setengah abad lebih, telah
menjalani sebelas fase:
A. Konsolidasi spiritual
dan proses berdirinya HMI
(November 1946 – 5 Februari 1947)
Bermula dari latar
belakang munculnya pemikiran dan berdirinya HMI serta kondisi objektif yang
mendorongnya, rintisan untuk mendirikan HMI muncul di bulan November 1946.
Latar belakang permasalahan berdirinya HMI merupakan suatu kenyataan yang harus
diantisipasi dan dijawab secara cepat dan konkrit dengan menunjukkan apa
sebenarnya Islam itu. Karenanya pembaharuan pemikiran di kalangan umat Islam
bangsa Indonesia adalah suatu keniscayaan.
B. Berdiri dan pengokohan
(5 Februari – 30 November 1947)
Selama lebih kurang sembilan bulan,
reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI baru berakhir. Masa ini dipergunakan untuk
menjawab berbagai reaksi untuk mengokohkan eksistensi HMI. Karena itu, untuk
sosialisasi organisasi maka diadakan ceramah-ceramah ilmiah, rekreasi, dan
malam-malam kesenian. Bidang organisasi mendirikan cabang-cabang baru seperti
Klaten, Solo, dan Yogyakarta. Pengurus HMI bentukan 5 Februari 1947 otomatis
menjadi PB HMI pertama dan merangkap menjadi pengurus HMI Cabang Yogyakarta.
Semula ada anggapan bahwa anggota
HMI hanya untuk mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam). Untuk menghilangkan
anggapan tersebut, tanggal 22 Agustus 1947, PB. HMI di reshuflle. Ketua Lafran
Pane digantikan oleh H.M Mintaredja dari fakultas Hukum BPT GM (Balai Perguruan
Tinggi Universitas Gajah Mada), sedang Lafran Pane menjadi wakil ketua
merangkap ketua Cabang Yogyakarta. Sejak itu mahasiswa BPT GM, STT mulai masuk
dan berbondong-bondong menjadi anggota HMI. Di Yogyakarta, tanggal 30 November
1947 diadakan Kongres I HMI.
C. Perang kemerdekaan, dan
menghadapi pengkhianatan/pemberontakan PKI I
(1947 – 1949)
Sejalan dengan salah satu tujuan
awal berdirinya HMI –mempertahankan kemerdekaan– maka dalam masa perang
kemerdekaan HMI terjun bertempur melawan Belanda. HMI membantu pemerintah, baik
langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing, sebagai staf penerangan,
maupun sebagai penghubung.
Tidak hanya itu, HMI juga berperan
besar menghadapi pemberotakan PKI Madiun 18 September 1948. Wakil ketua PB HMI
Ahmad Tirtosudiro –yang ketika itu juga menjabat sebagai Ketua PPMI (Persatuan
Pelajar Mahasiswa Indonesia)– membentuk Corps Mahasiswa (CM) di
bawah komando Hartono, sedang Ahmad Tirtosudiro sendiri menjadi Wakil Komandan.
HMI membantu pemerintah menumpas pemberontakan PKI di Madiun, dengan
mengerahkan anggota CM (Corps Mahasiswa) ke gunung-gunung, memperkuat aparat
pemerintah. Sejak saat itu PKI menaruh dendam terhadap HMI. Kebencian PKI
memuncak pada tahun 1964-1965, di saat-saat menjelang meletusnya Gestapu/PKI
1965.
Pada fase ini pula
berlangsung Dies Natalis (perayaan ulang tahun) pertama HMI di Bangsal
Kepatihan tanggal 6 Februari 1948. Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia
(APRI) Jendral Sudirman selain mengartikan HMI sebagai Himpunan Mahasiswa
Islam, juga diartikan HMI sebagai (H)arapan (M)asyarakat (I)ndonesia. Karena
masyarakat bangsa Indonesia umumnya beragama Islam, HMI juga diartikan
(H)arapan (M)asyarakat (I)slam (I)ndonesia.
Pada fase ini juga
berlangsung Kongres Muslimin Indonesia II di Yogyakarta tanggal 20 sampai 25
Desember 1949. Kongres ini dihadiri 185 organisasi alim ulama dan intelegensia
seluruh Indonesia. Salah satu keputusan di bidang organisasi diantaranya adalah
ketetapan bahwa: hanya satu organisasi mahasiswa Islam (HMI), yang becabang di
tiap-tiap kota yang ada sekolah tinggi.
D. Pembinaan dan
pengembangan organisasi
(1950 - 1963)
Selama anggota HMI banyak terjun ke
gelanggang medan pertempuran membantu pemerintah mengusir penjajah, selama itu
pula pembinaan organisasi HMI terabaikan. Tetapi hal itu dilakukan dengan sadar
demi tercapainya tujuan HMI sendiri, yakni tugas Agama dan Bangsa. Dengan
adanya pengakuan kedaulatan rakyat Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949,
mahasiswa yang berminat melanjutkan kuliah banyak bermunculan di Yogyakarta.
Sejak tahun 1950 dilaksanakan
usaha-usaha konsolidasi. Bulan Juli 1951 PB HMI di pindahkan dari Yogyakarta ke
Jakarta.
Di antara usaha-usaha yang
dilaksanakan selama 13 tahun itu diantaranya : (1) Pembentukan cabang-cabang
baru, (2) Menertibkan majalah media sejak 1 Agustus 1954, Sebelumnya terbit Criterium,
Cerdas, dan tahun 1959 menerbitkan majalah Media, (3)
Tujuh kali kongres, (4) Pengesahan atribut HMI seperti lambang, bendera, muts,
dan Hymne HMI, (5) Merumuskan tafsir asas HMI, (6) Pengesahan kepribadian HMI,
(7) Pembentukan BADKO (Badan Koordinasi), (8) Menetapkan metode Training HMI,
(9) Pembentukan lembaga-lembaga HMI.
Di bidang ekstern (1) Pendayagunaan
PPMI, (2) Menghadapi PEMILU 1 1955, (3) Penegasan independensi HMI, (4)
Mendesak pemerintah supaya mengeluarkan UU Perguruan Tinggi (5) Tuntutan agar
pelaksanakan pendidikan agama sejak dari SR (Sekolah Rakyat) sampai Perguruan
Tinggi, (6) Megeluarkan konsep “Peranan Agama dalam Pembangunan”, dan
lain-lain.
Selain masalah internal, muncul
pula persoalan ekstern yang menonjol. Keberhasilan HMI melaksanakan konsolidasi
organisasi ternyata justeru semakin memunculkan ketidaksenangan golongan
tertentu kepada HMI, yaitu PKI.
Kegagalan pemberontakan PKI di
Madiun tahun 1948 ternyata kurang ditindak tegas oleh pemerintah. Mereka tidak
dibubarkan sehingga PKI otomatis mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali.
Lebih dari itu, bahkan pada tanggal 21 Februari 1957 Presiden Soekarno
mengumumkan konsepsinya tentang “kabinet berkaki empat” dengan unsur PNI ,
Masyumi, NU, dan PKI (sebagai 4 besar pemenang PEMILU tahun 1955). Ancaman PKI
semakin besar ketika pada tanggal 19 November 1957 di Moskow dicetuskan Manifes
Moskow, yaitu suatu program untuk mengkomuniskan Indonesia.
Akibat itu semua PKI tampil sebagai
partai pemerintah. Salah satu partai yang tegas menentang PKI ketika itu adalah
Masyumi. Tetapi, akibat penentangannya terhadap kebijakan politik Presiden
Soekarno dengan keputusan Presiden Nomor: 200 tanggal 17 Agustus 1960 memaksa
Masyumi dibubarkan. Muasyumi mendapat peringatan keras, apabila dalam batas
waktu 30 hari tidak membubarkan diri akan dinyatakan sebagai partai terlarang.
Akhirnya, dengan surat nomor: 180/B/VI-25/60 tanggal 13 September 1960 yang
ditandatangani oleh ketua umum Prawoto Mangkusaswito dan sekertaris umum M.
Yunan Nasution yang disertai sebuah memorandum, Masyumi menyatakan membubarkan
diri. Karena itu, Masyumi bukan partai terlarang, tetapi ia jelas partai yang
membubarkan diri dalam keadaan dipaksa.
Partai-partai lain seperti PNI, NU,
PARKINDO, Partai Katolik, dan lain-lain tidak mau dan tidak mau mengambil
resiko untuk melawan arus sehingga menambah suasana yang sangat menguntungkan
PKI. Untuk menghadapi perkembangan politik, Kongres V HMI di medan tanggal
24–31 Desember 1957 mengeluarkan 2 sikap antara lain: (1) mengharamkan menganut
ajaran komunis karena bertentangan dengan agama Islam, (2) menuntut Islam
sebagai dasar agama.
E. Pertarungan Indonesia
Kita
(1964 – 1965)
Dendam PKI pada HMI yang tertanam
sejak pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, membuat mereka terus mengejar
HMI. Karena dianggap sebagai penghalang bagi tercapainya tujuan PKI, maka
dilakukan berbagai upaya agar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bubar.
1.
Plan 4
tahun PKI untuk membubarkan HMI
Setelah Masyumi dan GPII berhasil
dipaksa bubar, tahun 1960-1963 maka PKI menganggap HMI sebagai kekuatan ketiga
umat Islam, karena dalam tubuh HMI terkumpul 5 kekuatan yaitu: 1] pemuda, 2]
mahasiswa, 2] calon sarjana, 3] calon intelektual, serta sebagai 5] calon
pemimpin bangsa masa mendatang. Dalam usaha PKI untuk merebut kekuasaan, HMI
dianggap penghalang utama yang harus dibubarkan. PKI khawatir kehadiran HMI
akan kembali menggagalkan agenda GESTAPU (Gerakan September Tiga puluh),
sebagaimana yang terjadi di Madiun. Maka digariskanlah plan 4 tahun PKI untuk
membubarkan HMI, yang mengaruskan HMI bubar sebelum Gestapu/PKI meletus.
2.
Dendam
kesumat PKI terhadap HMI
Dengan kondisi yang mendukung
sesuai dengan hasil Kongres II, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI)
di Salatiga, Juni 1961 untuk melikuidasi HMI. PKI, CGMI, dan kelompok-kelompok
yang seideologi mulai melakukan perlawanan terbuka untuk membubarkan HMI. Ketua
CC PKI Dn. Aidit menganggap bahwa sebenarnya HMI sudah lama bubar, yaitu bersamaan
dipaksa bubarnya Masyumi tanggal 13 september 1960.
Dendam PKI pada HMI yang timbul
sejak menumpas pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948, sebagaimana
diucapkan Lafran Pane, adalah konsekuensi logis mengingat HMI sebagai
organisasi mahasiswa yang lahir sebelum peristiwa Madiun tahun 1948. lewat Corps
Mahasiswa (CM) yang komandannya adalah anggota HMI, turut mengambil
bagian aktif di dalam menumpas gerakan komunis di Madiun bersama ABRI. Inilah
sebabnya mengapa HMI menjadi lawan utama PKI.
Keberhasilan HMI mengadakan
konsolidasi organisasi, di mana HMI tampil sebagai organisasi yang banyak
berperan penting, membuat PKI semakin ingin melampiaskan dendamnya itu.
3.
Tujuan
dan target pembubaran HMI
Tujuan pembubaran HMI adalah untuk
memotong kader-kader bangsa Indonesia yang akan dibina HMI.
4.
Front
Aksi Penggayangan dan Pembubaran
Untuk membubarkan HMI dibentuklah
Panitia Aksi Pembubaran HMI di Jakarta, yang terdiri dari Ketua GMNI.
Wakil-wakil ketua: IPPI, GERMINDO, GMD, MMI. Sekretaris: CGMI. Wakil-wakil
sekretaris: PERHIMI, GMRI, GSMI. Anggota: Pemuda Marhaenis, Pemuda Rakyat,
Pemuda Indonesia, PPI, dan APPI. Hal ini, terjadi bulan Maret 1965.
Menjawab tantangan itu, Generasi
Muda Islam (GEMUIS) yang terbentuk tahun 1964 membentuk panitia solidaritas
pembelaan HMI, yang terdiri dari unsur-unsur pemuda, pelajar, mahasiswa Islam
seluruh Indonesia.
Begitu bersemangatnya PKI dan
simpatisannya untuk membubarkan HMI mengerahkan semua kekuatan dan daya, berupa
tiga partai besar, (1) Partai Komunis Indonesia, (2) Partai Indonesia
(PARTINDO), (3) Partai Nasional Indonesia (PNI), dan seluruh underbow ketiga
partai tersebut yang semuanya berjumlah 42 buah organisasi masa. Sementara
media surat kabar yang ikut menyuarakan dan memberitakan supaya HMI bubar,
sebanyak 30 buah surat kabar, termasuk Surat Kabar Kedaulatan Rakyat dan
Berita Nasional (dulu Nasional) Yogyakarta.
5.
Dalih
penggayangan
Sebenarnya sulit bagi PKI dan
kelompok-kelopoknya untuk mencari-cari alasan membubarkan HMI. Maka dibuatlah
berbagai fitnah dan hasutan yang semuanya tanpa fakta yang dapat dibuktikan.
HMI dikatakan anti pancasila, anti UUD 1945, anti PBR Soekarno, terlibat
PRRI/PERMESTA. Aidit menyebut: “Seharusnya tidak ada plintat-plintut terhadap
HMI. Saya menyokong penuh tuntutan pemuda dan pelajar mahasiswa Indonesia yang
menuntut pembubaran HMI, yang seharusnya sudah lama bubar bersamaan denga
bubarnya Masyumi. HMI disebut dan dihubungkan dengan Masyumi.”
6.
Strategi
dan taktik rentetan usaha pembubaran HMI
(1) Manifest Moskow 19
November 1957 “Program untuk mengkomunisikan Indonesia”. berarti bahwa semua
gerakan komunis di dunia ini termasuk di Indonesia digerakkan dari Moskow.
(2) Kongres ke-2 Consentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia (GCMI) di Salatiga bulan Juni 1961, dengan satu keputusan
“Melikuidasi HMI”.
(3) Peristiwa Utrech di Jember. Dengan
Surat Keputusan No.2 Tahun 1964, tanggal 12 Mei 1964, melarang HMI di fakultas
hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember, dengan alasan HMI terlibat
PRRI/PERMESTA, DI/TII, dll.
(4) Peristiwa “ Kanigoro” di Kediri
tanggal 13 Januari 1965
(5) Peristiwa “Kepahitan Yogyakarta”
tanggal 25 Februari 1965
(6) Peristiwa Malang 7 Maret 1965
(7) Peristiwa Surabaya 8 Maret 1965.
7.
Dukungan
dan pembelaan terhadap HMI
Walaupun HMI dituntut dibubarkan
oleh PKI, CGMI dan segenap kekuatan dan simpatisannya, namun para pejabat
sipil, maupun militer, para pimpinan organisasi dan mahasiswa, serta
tokoh-tokoh Islam turut membela dan mempertahankan hak hidup HMI dari rongrongan
kaum komunis, antara lain
(1) Presiden Soekarno “ Goaehad HMI”
(2) Menteri PTIP: “Mencabut Keputusan
Utrech”
(3) Mendagri : “Selama tidak dilarang,
HMI boleh bergerak”
(4) Mentri Pangak: “HMI berpikir maju”
(5) Ketua DPRGR: “Membicarakan saja tidak
ada, apalagi melarang”
(6) Ketua PSII : “ HMI tidak pernah
menjadi anak kandung Masyumi”
(7) PP Muhamadiyah:“ HMI senantiasa
giat berjuang”
(8) PP PPMI: “Masukkan kembali HMI
dalam keanggotaan PPMI”
(9) PB NU: “Ada oknum yang mau
serimpung restu Presiden.”
(10) Munas GEMUIS: “HMI bukan
underbow partai”
(11) Deklarasi umat Islam di
Bandung tanggal 12 Maret 1965, “Setiap rongrongan kepada sebagian umat Islam,
dianggap sebagai rongrongan terhadap seluruh umat Islam”
(12) Jenderal Nasution: “HMI
harus maju sebagai pelopor”
(13) Pangdad Jenderal Achmad
Yani: “Saya tidak meragukan HMI”
(14) Panca Tunggal Lampung:
“Kalau menindak HMI akan saya kerahkan satu batalyon”
8.
Puncak
aksi tuntutan pembubaran HMI
(1) Subandrio Ajukan Konsepsi Pembubaran HMI
Begitu
berhasilnya PKI mendekati dan mengisi pejabat-pejabat tertentu yang akan
dijadikan kawan untuk ikut membantu usaha pembubaran HMI. Dr. Subandrio sebagai
wakil Perdana Menteri mengajukan konsepsi pembubaran HMI dalam Sidang Kabinet.
Tetapi sebelum dibawa dan dibicarakan dalam Sidang Kabinet. Menteri Pangdad
Ahmad Yani melihat konsep itu. Setelah diketahui bahwa konsep itu ternyata
konsepsi pembubaran HMI, Menpangad Jenderal Ahmad Yani merobek-robeknya.
(2) DN Aidit Dianugerahi Bintang Maha Putra
Sebagai
Ketua OC PKI, dalam situasi tegang, oleh Presiden Soekarno di istana
dianugerahi Bintang Maha Putra Kelas I. Hal ini tidak lepas dari keberhasilan
PKI mendekatkan diri kepada Presiden. Bagi HMI kejadian itu, bukan satu
peristiwa yang berdiri sendiri. Penganugerahan itu berlangsung tanggal 13
September 1965.
(3) GEMUIS dan HMI Menantang Adit
Di
saat Aidit memperoleh Bintang Maha Putra dari Presiden, maka GEMUIS menantang
Aidit, dengan mengadakan appel besar-besaran, di mana GEMUIS mengeluarkan
pernyataan pembelaannya kepada HMI : “Akan membela HMI sampai titik darah yang
penghabisan”. Sementara barisan HMI pada appel tersebut membawa poster yang
berbunyi “Langkahi mayatku sebelum ganyang HMI”.
(4) HMI Merupakan Taruhan Terakhir
Bagi
umat Islam HMI merupakan taruhan terakhir yang harus dipertahankan sampai titik
darah yang penghabisan. Hikmah dari usaha pembubaran HMI ini, semangat
persatuan dan kesatuan umat Islam bangkit. Persoalannya, kalau HMI sempat
bubar, maka satu persatu dari organisasi Islam itu dikenakan sapu pembubaran.
HMI merupakan test case terakhir.
(5) Berdasarkan Keputusan (Komando
Tertinggi Retoling Aparatur Revolusi) KOTRAR “HMI Jalan Terus”
Berdasarkan
kebijaksanaan Panglima Besar KORTAR Presiden Soekarno, dengan surat keputusan
tanggal 17 September 1965, HMI dinyatakan jalan terus, tidak dibubarkan. Inilah
imbangan yang diberikan kepada HMI/umat Islam, sementara Aidit/PKI memperoleh
bintang Maha Putra.
(6) Situasi Berbalik
Akibat
usaha penggayaan dan pembubaran HMI, maka persatuan dan solidaritas umat Islam
dan yang anti PKI mulai timbul dan tergalang dengan kuat, termasuk dikalangan
ABRI. Kekuatan sudah mempola, antara kekuatan PKI dan anti PKI, yang kalau
diamati secara cermat, akhirnya situasi berbalik, yang tadinya secara politik
situasi sangat menguntungkan PKI, tetapi akhirnya merugikan PKI dan
menguntungkan umat Islam, dengan sendirinya HMI merupakan simbol anti komunis.
(7) DN. Aidit Beragitasi “HMI Soal Kecil”
Aidit berdalih HMI soal kecil. Tapi
kenyataannya PKI tidak mampu melakukan apa-apa, dan bahkan membutuhkan bantuan
PNI, Partindo dan ormasnya ikut menuntut pembubaran HMI. Hal itu dipertontonkan
Aidit tanggal 29 September 1965, tatkala diadakan penutupan Kongres III CGMI di
Istora Senayan. Waktu itu dimanfaatkan oleh PKI, sebagai usaha
terakhir untuk mencoba mempengaruhi Bung Karno agar membubarkan HMI yang nanti
disampaikan ketika memberikan sambutannya. Aidit kesal dan mengatakan, “kalau
CGMI tidak bisa membubarkan HMI, anggota CGMI yang laki-laki lebih baik pakai
kain sarung saja. HMI soal kecil tidak usah saya disuruh bicara, tidak usaha
Pak Ali (PNI), tidak usah Pak Idham (Partai NU) kalian selesaikan sendiri saja.
Contoh, massa rakyat minta Partai Murba dibubarkan, presiden lantas
instruksikan bubarkan. Kalau semua front sudah minta, Presiden akan membubarkan
HMI.”
Akan tetapi apa yang dikatakan Bung
Karno dalam pidatonya :Pemerintah mempunyai kebijaksanaan untuk memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada kehidupan organisasi mahasiswa yang
revolusioner. Tapi kalau organisasi mahasiswa yang menyeleweng itu menjadi
kontra revolusi umpamanya HMI, aku sendiri yang akan membubarkannya. Demikian
pula kalau CGMI menyeleweng menjadi kontra revolusi juga akan kububarkan.
Ternyata HMI tidak dibubarkan, HMI
jalan terus, sesuai dengan garis kebijaksanaan Presiden. Dengan kejadian itu
PKI, CGMI serta seluruh barisannya menjadi frustasi, lesu, lemas, dan
kehilangan semangat.
(8) PKI Siap Main Kayu, daripada Didahului Lebih Baik
Mendahului
Antara
lain karena gagal membubarkan HMI. PKI takut didahului umat Islam, maka dia
mendahului, karena PKI memang secara fisik sudah siap berontak, merebut
kekuasaan dari tangan pemerintahan yang sah.
(9) Anti Klimaks Gestapu/PKI Meletus dan Serangan Fajar
Tidak ada jalan lain bagi PKI untuk
menebus kekalahannya pada peristiwa Madiun pada tahun 1948, kecuali dengan
berontak, dengan jalan perebutan kekuasaan yang memang sudah lama dipersiapkan
walaupun PKI berusaha untuk menutupinya. Menurut PKI, “ibukota berada dalam
keadaan hamil tua” yang akan melahirkan bayi “gestapu” dan memang terjadi,
yakni dengan pemberontakan Gestapu/PKI tanggal 30 September 1965.
Ketajaman politik HMI telah mencium
bahwa pemberontakan G30S pasti dilakukan PKI. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, pagi-pagi buta, tanggal 1 Oktober 1965 utusan PB HMI yang terdiri
dari Darmin P. Siregar, dan Ekky Syachruddin menghadap Pangdam V Jaya Mayor
Jenderal Umar Wirahadikusumah (mantan wakil Presiden RI) dan menyatakan 4 sikap
:
(1) Pemberontakkan itu dilakukan oleh PKI
(2) HMI menuntut supaya PKI dibubarkan
(3) Karena pemberontakan itu menyangkut
masalah politik, supaya diselesaikan secara politik dan untuk mengkoordinasikan
supaya dipercayakan kepada partai NU
(4) HMI akan memberikan bantuan apa saja
yang diminta pemerintah untuk menumpas pemberontakan Gestapu PKI.
Secara organistoris, dengan surat nomor :
2125/B/Sek/1965, tanggal 4 Oktober 1965, HMI mengeluarkan pernyataan yang
mengutuk peristiwa Gestapu PKI. Pernyataan itu ditandatangani oleh Sulastomo
sebagai Ketua Umum dan Mar`ie Muhammad sebagai Sekretaris Jenderal PB HMI.
(10) Komandan Gestapu Letkol
Untung, Bernasib malang, walaupun Naik Bis Mujur
Untung berusaha melarikan diri dari
Jakarta menuju Surakarta untuk bergabung dengan D.N. Aidit dan berhasil dengan
kucing-kucingan sampai ke Cirebon. Dari Cirebon Untung naik bis Mujur. Memang
nasibnya lagi malang, gerak-geriknya diketahui anggota ABRI yang kebetulan
berada dalam bis yang ditumpanginya. Untung berusaha melarikan diri, dengan
melompat dari dalam bis yang sedang berjalan, kemudian menabrak tiang listrik
dan sempoyongan.
Anggota ABRI yang ada dalam bis itu
meneriakkan maling, kemudian secara beramai-ramai ditangkap pasukan Hansip yang
bertugas di tempat kejadian. Komandan Gestapu PKI akhirnya ditangkap oleh
seorang Hansip. Meski namanya Untung, berangkat naik bis Mujur, tetapi nasibnya
malang karena diteriaki maling. Untung dibawa ke Jakarta untuk di Sidang
Mahmilub, dan dijatuhi hukuman mati.
(11) D.N. Aidit Dieksekusi
Karena secara politis dan fisik,
pemberontakan Gestapu PKI dianggap gagal, maka sejak 1 Oktober 1965 Ketua CC
PKI dan gembong Gestapu PKI sudah menjadi buronan. Tanggal 1 Oktober 1965 malam
D.N. Aidit mendarat di lapangan Adisucipto Yogyakarta dan memberi gemblengan
kepada Pemuda Rakyat di Kotagede. Seterusnya gembong PKI itu meneruskan
petualangannya ke Solo sebagai basis terkuat PKI sesudah Jakarta. Taktik
gerilya akan dimulai dari Solo, dan itu dilaksanakan sesuai dengan taktik
perjuangan Partai Komunis Cina sebagai Kiblat PKI mengadakan pemberontakan G 30
S/PKI.
Sewaktu pemberontakkan PKI Madiun
tahun 1948, PKI berada dibawah komando Partai Komunis Uni Sovyet. Tanggal 21
November 1965 Aidit tertangkap di Solo. Ketika ditangkap oleh Pangdam VII
Diponegoro Mayor Jenderal Suryo Sumpeno, Aidit mengatakan: Saya ini
Menteri Koordinator (Menko) dan saudara tidak berhak menangkap
saya. Tetapi setelah dipaksa akhirnya Aidit menyerah, kemudian dieksekusi di
Boyolali. Kejadian itu dilaporkan komandan RPKAD (sekarang KOPASSUS) Kolonel
Sarwo Edhie Wibowo kepada Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno tidak percaya
kepada laporan bawahannya itu bahwa Aidit sudah ditangkap dan ditembak mati.
Dengan rasa mendongkol Sarwo Edhie penasaran lallu kembali ke Boyolali. Kuburan
Aidit dibongkar lalu kepala Aidit dipenggal. Potongan kepala si penghianat itu
dimasukkan ke dalam kardus lalu dibawa ke Jakarta. Kemudian diperlihatkan
kepada Presiden Soekarno, sebagai bukti bahwa Aidit sudah mati. Bung Karno
nampaknya sangat sedih dan kecewa atas kejadian itu, dan di situlah Bung Karno
menyadari bahwa Dipo Nusantara (Aidit) anak tokoh Masyumi Aidit dari Bangka
Belitung sudah mati akibat perbuatannya.
9.
Strategi
HMI menghadapi PKI
Dalam menghadapi PKI, HMI
mempergunakan strategi taktik yaitu, PKI dilawan dengan PKI. (P)engamanan,
(K)onsolidasi, (I)ntegrasi, dengan semua kekuatan yang anti PKI.
F. Kebangkitan HMI:
Pejuang Pelopor Kebangkitan Angkatan 66
(1966 – 1968)
Tanggal 1 Oktober 1965, adalah tugu
pemisah antara Orde Lama dan Orde Baru. Apa yang disinyalir PKI, seandainya PKI
gagal dalam pemberontakannya HMI akan tampil kedua kalinya menumpas
pemberontakan HMI, betul-betul terjadi. Wakil Ketua PB HMI Mar`ie Muhammad tanggal
25 Oktober 1965, mengambil inisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia) sebagai mana yang diperbuat oleh Wakil Ketua PB HMI Ahmad
Tirtosudiro mendirikan Corps Mahasiswa (CM) untuk menghadapi pemberontakan PKI
di Madiun 18 September 1948.
Sejarah berulang, walaupun dalam
tempat dan waktu yang berbeda. Tritura 10 Januari 1966 : Bubarkan PKI, retool
kabinet, dan turunkan harga. Surat Perintah Sebelas Maret 1966 Dibubarkan dan
dilarangnya PKI tanggal 12 Maret 1966.Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan
Rakyat) terbentuk. Alumni HMI masuk dalam kabinet, dan HMI diajak hearing dalam
pembentukan kabinet.
G. Partisipasi HMI dalam
pembangunan
(1969 – 1970)
Setelah
Orde Baru mantap dan Pancasila serta UUD 1969 dilaksanakan secara murni dan
konsekwen, maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah Rencana Pembangunan Lima
Tahun, dan sudah menyelesaikan Pembangunan 25 tahun pertama, kemudian menyusul,
pembangunan 25 tahun kedua. Pembangunan Indonesia menuju masyarakat adil makmur
bukanlah pekerjaan mudah, tetapi sebaliknya merupakan pembangunan raksasa
sebagai usaha kemanusiaan yang tidak habis-habisnya. Partisipasi segenap warga
negara sangat dibutuhkan. HMI pun sesuai dengan lima aspek pemikirannya, telah
memberikan sumbangan dan partisipasinya bagi pembangunan : (a) partisipasi
dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim, yang memungkinkan dilaksanakannya
pembangunan, (b) partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek
pemikiran, (c) partisipasi dalam bentuk langsung dari pembangunan.
H. Pergolakan dan pembaharuan
pemikiran
(1970 – 1998)
Selama kurun waktu Orde Lama
(1959-1965) kebebasan mengeluarkan pendapat baik yang bersifat
akademis terlebih-lebih politik terkekang dengan ketat. Suasananya berubah
tatkala Orde Baru muncul, meski belum sepenuhnya pada bidang politik. Kejumudan
dan suasana tertekan pada masa Orde Lama mulai cair terutama pembaharuan dalam
pemikiran Islam yang dipandang sebagai suatu keharusan, sebagai jawaban
terhadap berbagai masalah untuk memenuhi kebutuhan kontemporer.
Hal seperti itu muncul dikalangan
HMI, dan mencapai puncaknya tahun 1970, tatkala Nurcholish Madjid menyampaikan
ide pembaharuannya dengan topic Keharusan Pembaharuan Pemikiran dalam
Islam dan Masalah Integrasi Umat. Sikap itu diambil karena jika kondisi
begitu dibiarkan mengakibatkan persoalan-persoalan umat yang terbelenggu selama
ini, tidak akan memperoleh jawaban yang efektif. Sebagai konsekwensinya timbullah
pergolakkan pemikiran dalam tubuh HMI yang dalam berbagai substansi
permasalahan timbul perbedaan pendapat, penafsiran dan interpretasi. Mulai dari
persoalan Negara Islam, Islam Kaffah, sampai kepada penyesuaian dasar HMI dari
islam menjadi Pancasila dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor : 8/1985 yang
mengharuskan bahwa semua partai dan organisasi harus berdasarkan Pancasila.
Kongres ke-6 HMI di Padang tahun
1986, HMI menyesuaikan diri dengan mengubah asas Islam dengan Pancasila. Akibat
penyesuaian itu beberapa orang oknum anggota HMI membentuk MPO. Akibatnya HMI
pecah menjadi dua, yaitu HMI DIPO secara de facto HMI MPO
memang ada, tetapi secara yuridis, MPO adalah inkonstitusional.
BAJU KITA
[Barisan Juang KITA]
|
|
|
Memori
Penjelasan tentang Islam sebagai Azas HMI
|
|
“Hari ini telah Kusempurnakan bagi
kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu: (QS. Al-Maidah : 3).
“Dan mereka yang berjuang
dijalan-Ku (kebenaran), maka pasti Aku tunjukkan jalannya (mencapai tujuan)
sesungguhnya Tuhan itu cinta kepada orang-orang yang selalu berbuat (progresif)
(QS. Al-Ankabut : 69).
Islam sebagai ajaran yang haq dan
sempurna hadir di bumi diperuntukkan untuk mengatur pola hidup manusia agar
sesuai fitrah kemanusiaannya yakni sebagai khalifah di muka bumi dengan
kewajiban mengabdikan diri semata-mata ke hadirat-Nya.
Iradat Allah Subhanu Wata’ala,
kesempurnaan hidup terukur dari personality manusia yang integratif antara
dimensi dunia dan ukhrawi, individu dan sosial, serta iman, ilmu dan amal yang
semuanya mengarah terciptanya kemaslahatan hidup di dunia baik secara
induvidual maupun kolektif.
Secara normatif Islam tidak sekedar
agama ritual yang cenderung individual akan tetapi merupakan suatu tata nilai
yang mempunyai komunitas dengan kesadaran kolektif yang memuat
pemaham/kesadaran, kepentingan, struktur dan pola aksi bersama demi
tujuan-tujuan politik.
Substansi pada dimensi kemasyarakatan, agama memberikan
spirit pada pembentukan moral dan etika. Islam yang menetapkan Tuhan dari
segala tujuan menyiratkan perlunya peniru etika ke Tuhanan yang meliputi sikap
rahmat (pengasih), barr (pemula), ghafur (pemaaaf), rahim (Penyayang) dan
(ihsan) berbuat baik. Totalitas dari etika tersebut menjadi kerangka
pembentukan manusia yang kafah (tidak boleh mendua) antara aspek ritual dengan
aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi dan sosial budaya).
Adanya kecenderungan bahwa peran
kebangsaan Islam mengalami madginalisasi dan tidak mempunyai peran yang
signifikan dalam mendesain bangsa merupakan implikasi dari proses yang
ambigiutas dan distortif. Fenomena ini ditandai dengan terjadinya mutual
understanding antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi.
Penempatan posisi yang antagonis sering terjadi karena berbagai kepentingan
politik penguasa dari politisi-politisi yang mengalami split personality.
Kelahiran HMI dari rahim pergolakan
revolusi phisik bangsa pada tanggal 5 Februari 1974 didasari pada semangat
mengimplementasikan nilai-nilai ke-Islaman dalam berbagai aspek ke Indonesian.
Semangat nilai yang menjadi embrio
lahirnya komunitas Islam sebagai interest group (kelompok kepentingan) dan
oressure group (kelompok penekanan). Dari sisi kepentingan sasaran yang hendak
diwujudkan adalah terutangnya nilai-nilai tersebut secara normatif pada setiap
level kemasyarakatan, sedangkan pada posisi penekan adalah keinginan sebagai
pejuang Tuhan (sabilillah) dan pembelaan mustadh’afin.
Proses internalisasi dalam HMI yang
sangat beragam dan suasana interaksi yang sangat plural menyebabkan timbulnya
berbagai dinamika ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dengan didasari rasionalisasi
menurut subyek dan waktunya.
Pada tahun 1955 pola interaksi politik
didominasi pertarungan ideologis antara nasionalis, komunis dan agama (Islam).
Keperluan sejarah (historical necessity) memberikan spirit proses
ideologisasi organisasi. Eksternalisasi yang muncul adalah kepercayaan diri
organisasi untuk “bertarung” dengan komunitas lain yang mencapai titik
kulminasinya pada tahun 1965.
Seiring dengan kreatifitas
intelektual pada Kader HMI yang menjadi ujung tombak pembaharuan pemikiran
Islam dan proses transformasi politik bangsa yang membutuhkan suatu Perekat
serta ditopang akan kesadaran sebuah tanggung jawab kebangsaan, maka pada
Kongres ke-X HMI di Palembang, tanggal 10 Oktober 1971 terjadilah proses
justifikasi Pancasila dalam mukadimah Anggaran Dasar.
Orientasi aktifitas HMI yang
merupakan penjabaran dari tujuan organisasi menganjurkan terjadinya proses
adaptasi pada jamannya. Keyakinan Pancasila sebagai keyakinan ideologi negara
pada kenyataannya mengalami proses stagnasi. Hal ini memberikan tuntutan
strategi baru bagi lahirnya metodologi aplikasi Pancasila. Normatisasi
Pancasila dalam setiap kerangka dasar organisasi menjadi suatu keharusan agar
mampu mensuport bagi setiap institusi kemasyarakatab dalam mengimplementasikan
tata nilai Pancasila.
Konsekuensi yang dilakukan HMI
adalah ditetapkannya Islam sebagai identitas yang mensubordinasi Pancasila
sebagai azas pada Kongres XVI di Padang, Maret 1986.
Islam yang senantiasa memberikan
energi perubahan mengharuskan para penganutnya untuk melakukan invonasi
internalisasi, eksternalisasi maupun obyektifikasi. Dan yang paling fundamental
peningkatan gradasi umat diukur dari kualitas keimanan yang datang dari
kesadaran paling dalam bukan dari pengaruh eksternal. Perubahan bagi HMI
merupakan suatu keharusan, dengan semakin meningkatnya keyakinan akan Islam
sebagai landasan teologis dalam berinteraksi secara vertikal maupun horizontal,
maka pemilihan Islam sebagai azas merupakan pilihan dasar dan bukan implikasi
dari sebuah dinamika kebangsaan.
Demi tercapainya idealisme
ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, maka HMI bertekad Islam menjadikan sebagai
doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik, transedental,
humanis dan inklusif. Dengan demikian kader-kader HMI harus berani menegakkan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip demokrasi tanpa
melihat perbedaan keyakinan dan mendorong terciptanya penghargaan Islam sebagai
sumber kebenaran yang paling hakiki dan menyerahkan semua demi ridho-Nya.
|
|
|
Tafsir
Tujuan
Himpunan
Mahasiswa Islam
|
|
I. PENDAHULUAN
Tujuan yang jelas diperlukan untuk
suatu organisasi, hingga setiap usaha yang dilakukan oleh organisasi tersebut
dapat dilaksanakan dengan teratur. Bahwa tujuan suatu organisasi dipengaruhi
oleh suatu motivasi dasar pembentukan, status dan fungsinga dalam totalitas
dimana ia berada. Dalam totalitas kehidupan bangsa Indonesia, maka HMI adalah
organisasi yang menjadikan Islam sebagai sumber nilai. Motivasi dan inspirasi
berstatus sebagai organisasi mahasiswa yang berperan sebagai sumber insani
pemnangunan bangsa dan berfungsi sebagai organisasi yang bersifat
independen.
Pemantapan
fungsi Kekaderan HMI ditambah dengan kenyataan bahwa bangsa Indonesia sangat
kekurangan tenaga intelektual yang memiliki keseimbangan hidup yang
terpadu antara pemenuhan tugas duniawi dan ukhrowi, iman
dan ilmu, individu dan masyarakat, sehingga peranan kaum intelektual yang
semakin besar dimasa mendatang merupakan kebutuhan yang paling
mendasar.
Atas
faktor tersebut, maka HMI menetapkan tujuannya sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 4. AD ART HMI yaitu :
“TERBINANYA INSAN AKADEMIS, PENCIPTA, PENGABDI YANG
BERNAFASKAN ISLAM DAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS TERWUJUDNYA MASYARAKAT ADIL MAKMUR
YANG DIRIDHOI ALLAH SWT”.
Dengan
rumusan tersebut, maka pada hakekatnya HMI bukanlah
organisasi massa dalam pengertian fisik dan kualitatif, sebaliknya HMI secara
kualitatif merupakan lembaga pengabdian dan pengembangan ide, bakat
dan potensi yang mendidik, memimpin dan membimbing anggota-anggotanya untuk
mencapai tujuan dengan cara-cara perjuangan yang benar dan efektif.
II. MOTIVASI DASAR KELAHIRAN DAN TUJUAN ORGANISASI
Sesungghnya Allah SWT telah
mewahyukan Islam sebagai agama yang Haq dan sempurna untuk mengatur
umat manusia agar berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai Khalifatullah di
muka bumi dengan kewajiban mengandikan diri semata-mata kehadiratnya.
Kehidupan
yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut adalah kehidupan yang seimbang dan
terpadu antara pemenuhan dan kalbu, iman dan ilmu, dalam mencapai
kebaha giaan hidup di dunia dan ukhrowi. Atas keyakinan ini,
maka HMI menjadikan Islam selain sebagai motivasi dasar kelahiran
juga sebagi sumber nilai, motivasi dan inpirasi. Dengan demikian Islam bagi HMI merupakan
pijakan dalam menetapkan tujuan dari usaha organisasi HMI.
Dasar
Motivasi yang paling dalam bagi HMI adalah ajaran Islam. Karena Islam adalah
ajaran fitrah, maka pada dasarnya tujuan dan mission Islam adalah
juga merupakan tujuan daripada kehidupan manusia yang fitri, yaitu yang tunduk
kepada fitrah kemanusiaannya.
Tujuan
kehidupan manusia yang fitri adalah kehidupan yang menjamin adanya
kesejahteraan jasmani dan rohani secara seimbang atau dengan kata lain
kesejahteraan materiil dan kesejahteraan spirituil.
Kesejahteraan
yang akan terwujud dengan adanya amal saleh (kerja kemanusiaan) yang dilandasi
dan dibarengi dengan keimanan yang benar. Dalam amal kemanusiaan inilah manusia
akan dapat kebahagian dan kehidupan yang sebaik-baiknya. Bentuk kehidupan
yang ideal secara sederhana kita rumuskan dengan “kehidupan yang
adil dan makmur”.
Untuk
menciptakaan kehidupan yang demikian. Anggaran dasar menegaskan kesadaran
mahasiswa Islam Indonesia untuk merealisasi nilai-nilai Ketuhan Yang
Maha Easa, Kemanusian Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Dalam Kebijaksanaan/Perwakilan serta
mewujudkan Keadilan Bagi Seluruh Indonesia dalam rangka mengabdikan diri kepada
Allah SWT.
Perwujudan
daripada pelaksanaan nilai-nilai tersebut adalah berupa
amal saleh atau kerja kemanusiaan. Dan kerja kemanusiaan ini akan terlaksana
secara benar dan sempurna apabila dibekali dan didasari oleh iman dan ilmu
pengatahuan. Karena inilah hakekat tujuan HMI tidak lain adalah pembentukan
manusia yang beriman dan berilmu serta mampu menunaikan tugas kerja kemanusiaan
(amal saleh). Pengabdian dan bentuk amal saleh inilah pada hakekatnya tujuan
hidup manusia, sebab dengan melalui kerja kemanusiaan, manusia mendapatkan
kebahagiaan.
III. BASIC DEMAND BANGSA INDONESIA
Sesunguhnya kelahiran HMI dengan rumusan tujuan seperti
pasal 4 Anggaran Dasar tersebut adalah dalam rangka menjawab dan
memenuhi kebutuhan dasar (basic need) bangsa Indonesia setelah mendapat
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 guna memformulasikan dan
merealisasikan cita-cita hidupnya. Untuk memahami kebutuhan dan tuntutan
mereka, maka kita perlu melihat dan memahami keadaan dan sejarah mereka
sebelumnya. Sejarah Indonesia dapat kita bagi dalam 3 (tiga) periode yaitu:
a) Periode (Masa) Penjajahan
Penjajahan
pada dasarnya adalah perbudakaan. Sebagai bangsa terjajah sebenarnya bangsa
Indonesia pada waktu itu telah kehilangan kemauan dan kemerdekaan sebagai hak
asasinya. Idealisme dan tuntutan bangsa Indonesia pada waktu itu adalah
kemerdekaan. Oleh karena itu timbullah pergerakan nasional dimana
pimpinan-pimpinan yang dibutuhkan adalah mereka yang mampu menyadarkan hak-hak
asasinya sebagai suatu bangsa.
b). Periode (Masa) Revolusi
Periode ini adalah masa merebut
dan mempertahankan kemerdekaan. Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta
didoorong oleh keinginan yang luhur maka bangsa Indonesia memperoleh
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. dalam periode ini yang dibutuhkan
oleh bangsa Indonesia adalah adanya persatuan solidaritas dalam bentuk
mobilitas kekuatan fisik guna melawan dan menghancurkan penjajah. Untuk itu
dibutuhkan adalah “solidarity making” diantara seluruh kekuatan
nasional sehingga dibutuhkan adanya pimpinan nasional tipe solidarity
maker.
c) Periode (Masa) Membangun
Setelah Indonesia merdeka dan
kemerdekaan itu mantap berada ditangannya maka timbullah cita-cita dan
idealisme sebagai manusia yang bebas dapat direalisir dan diwujudkan. Karena
periode ini adalah periode pengisian kemerdekaan, yaitu guna menciptakan masyarakat
atau kehidupan yang adil dan makmur. Maka mulailah pembangunan nasional. Untuk
melaksanakan pembangunan, faktor yang sangat diperlukan adalah ilmu
pengetahuan.
Pimpinan nasional yang dibutuhkan
adalah negarawan yang “problem solver” yaitu tipe “administrator” disamping
ilmu pengetahuan diperlukan pula adanya iman/akhlak sehingga mereka
mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan (amal saleh). Manusia yang demikian
mempunyai garansi yang obyektif untuk menghantarkan bangsa Indonesia ke dalam
suatu kehidupan yang sejahtera adil dan makmur serta kebahagiaan. Secara
keseluruhan basic demand bangsa Indonesia adalah
terwujudnya bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat, menghargai
HAM, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dengan tegas tertulis
dalam Pembukaan UUD 1945 dalam alinea kedua.
Tujuan
1 dan 2 secara formal telah kita capai tetapi tujuan ke-3 sekarang
sedang kita perjuangkan. Suatu masyarakat atau kehidupan yang adil dan
makmur hanya akan ter bina dan terwujud dalam suatu pembaharuan
dan pembangunan terus menerus yang dilakukan oleh manusia-manusia yang beriman,
berilmu pengetahuan dan berkepribadian, dengan mengembangkan nilai-nilai
kepribadian bangsa.
IV. KUALITAS INSAN CITA HMI
Kualitas insan cita HMI adalah
merupakan dunia cita yang terwujud oleh HMI di dalam pribadi seorang
manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu
melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Kualitas tersebut sebagaimana dalam pasal
tujuan (pasal 5 AD HMI) adalah sebagai berikut :
1. Kualitas Insan Akademis
a. Berpendidikan
Tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan kritis.
b. Memiliki
kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirahasiakan.
Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan
kesadaran.
c. Sanggung
berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu pilihannya,
baik secara teoritis maupun tekhnis dan sanggup bekerja secara
ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai
dengan prinsip-prinsip perkembangan.
2. Kualitas Insan Pencipta : Insan
Akademis, Pencipta
a. Sanggup melihat
kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang ada dan bergairah
besar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan bersikap
dengan bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh
dengan gagasan-gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan
pembaharuan.
b. Bersifat independen dan
terbuka, tidak isolatif, insan yang menyadari dengan sikap demikian potensi,
kreatifnya dapat berkembang dan menentukan bentuk yang indah-indah.
c. Dengan ditopang kemampuan
akademisnya dia mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran
islam.
3. Kualitas Insan Pengabdi : Insan
Akdemis, Pencipta, Pengabdi
a. Ikhlas dan sanggup berkarya
demi kepentingan orang banyak atau untuk sesama umat.
b. Sadar membawa
tugas insan pengabdi, bukannya hanya membuat dirinya baik tetapi juga membuat
kondisi sekelilingnya menajdi baik.
c. Insan akdemis, pencipta
dan mengabdi adalah yang bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita dan ikhlas
mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesamanya.
4. Kualitas Insan
yang bernafaskan islam : Insan Akademis, pencipta dan pengabdi yang
ber nafaskan Islam
a. Islam yang telah menjiwai dan
memberi pedoman pola fikir dan pola lakunya tanpa memakai merk Islam. Islam
akan menajdi pedoman dalam berkarya dan mencipta sejalan dengan nilai-nilai
universal Islam. Dengan demikian Islam telah menapasi dan menjiwai karyanya.
b. Ajaran Islam telah berhasil
membentuk “unity personality” dalam dirinya. Nafas Islam telah membentuk
pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema
pada dirinya sebagai warga negara dan dirinya sebagai muslim insan ini telah
mengintegrasikan masalah suksesnya dalam pembangunan nasional bangsa kedalam
suksesnya perjuangan umat islam Indonesia dan sebaliknya.
5. Kualitas Insan
bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh
Allah SWT :
a. Insan akademis, pencipta dan
pengabdi yang ber nafaskan islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya
masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.
b. Berwatak, sanggup memikul
akibat-akibat yang dari perbuatannya sadar bahwa menempuh jalan yang
benar diperlukan adanya keberanian moral.
c. Spontan dalam menghadapi
tugas, responsip dalam menghadapi persoalan-persoalan dan jauh dari sikap
apatis.
d. Rasa tanggungjawab, takwa
kepada Allah SWT, yang menggugah untuk mengambil peran aktif dalam suatu bidang
dalam me wujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
e. Korektif terhadap setiap
langkah yang berlawanan dengan usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur.
f. Percaya pada diri
sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai “khallifah fil
ard” yang harus melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.
Pada pokoknya insan cita HMI
merupakan “man of future” insan pelopor yaitu insan yang berfikiran
luas dan berpandangan jauh, bersikap terbuka, terampil atau ahli
dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana
mencari ilmu perjuangan untuk secara kooperatif bekerja sesuai dengan yang
dicita-citakan. Ideal tipe dari hasil perkaderan HMI adalah “man of inovator”
(duta-duta pembantu). Penyuara “idea of progress” insan yang
berkeperibadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur
dan bertaqwa kepada Allah Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia uang
beriman berilmu dan mampu beramal saleh dalam kualitas
yang maksimal (insan kamil)
Dari liam kualitas lima insan cita
tersebut pada dasarnya harus memahami dalam tiga kualitas insan Cita yaitu
kualitas insan akademis, kualitas insan pencipta dan kualitas insan pengabdi. Ketiga
insan kualitas pengabdi tersebut merupakan insan islam yang terefleksi dalam
sikap senantiasa bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur
yang ridhoi Allah SWT.
V. TUGAS ANGGOTA HMI
Setiap anggota HMI berkewajiban
berusaha mendekatkan kualitas dirinya pada kualitas insan cita HMI seperti
tersebut diatas. Tetapi juga sebaliknya HMI berkewajiban untuk memberikan
pimpinan-pimpinan, bimbingan dan kondusif bagi perkembangan potensi kualitas
pribadi-pribadi anggota-anggota dengan memberikan fasilitas-fasilitas dan
kesempatan-kesempatan. Untuk setiap anggota HMI harus mengembangkan sikap
mental pada dirinya yang independen untuk itu :
a. Senantiasa memperdalam
hidup kerohanian agar menjadi luhur dan bertaqwa kepada Allah SWT.
b. Selalu tidak puas dan selalu
mencari kebenaran
c. Teguh dalam pendirian dan
obyektif rasional menghadapi pendirian yang berbeda.
d. Bersifat kritis dan berpikir
bebas kreatif
e. Selalu hasu terhadap ilmu
pengetahuan dan selalu mencari kebenaran
Hal tersebut akan diperoleh antara lain dengan jalan:
a. Senantiasa
mempertinggi tingkat pemahaman ajaran Islam yang dimilikinya dengan penuh
gairah.
b. Aktif berstudi
dalam fakultas yang dipilihnya.
c. Mengadakan
tentor club untuk studi ilmu jurusannya dan club studi untuk masalah
kesejahteraan dan kenegaraan
d. Salalu hadir
dalam forum ilmiah
e. Aktif
mengikuti karya seni dan budaya
f. Mengadakan
halaqah-halaqah perkaderan di masjid-masjid kampus
Bahwa tujuan HMI
sebagai dirumuskan dalam pasal AD HMI pada hakikatnya adalah merupakan tujuan
dalam setiap Anggota HMI. Insan cita HMI adalah gambaran masa depan HMI.
Suksesnya seorang HMI dalam membina dirinya untuk mencapai Insan Cita HMI
berarti dia telah mencapai tujuan HMI.
Insan cita HMI pada
suatu waktu akan merupakan “Intelektual community” atau kelompok intelegensi
yang mampu merealisasi cita-cita umat dan bangsa dalam suatu kehidupan
masyarakat yang sejahtera spritual adil dan makmur serta bahagia (masyarakat
adil makmur yang diridhoi Allah SWT).
Wabillahittaufiq wal hidayah.
Tafsir
Independensi
Himpunan
Mahasiswa Islam
|
|
A. PENDAHULUAN
Menurut fitrah kejadiannya, maka
manusia diciptakan bebas dan merdeka. Karenanya kemerdekaan pribadi adalah hak
yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari pada kemerdekaan itu.
Sifat dan suasana bebas dan kemerdekaan seperti diatas, adalah mutlak
diperlukan terutama pada fase/saat manusia berada dalam pembentukan dan
pengembangan. Masa/fase pembentukan dari pengembangan bagi manusia terutama
dalam masa remaja atau generasi muda.
Mahasiswa dan kualitas-kualitas
yang dimilikinya menduduki kelompok elit dalam generasinya. Sifat kepeloporan,
keberanian dan kritis adalah ciri dari kelompok elit dalam generasi muda, yaitu
kelompok mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis yang
didasarkan pada obyektif yang harus diperankan mahasiswa bisa dilaksanakan
dengan baik apabila mereka dalam suasana bebas merdeka dan demokratis obyektif
dan rasional. Sikap ini adalah yang progresif (maju) sebagai ciri dari pada
seorang intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan obyektifitas.
Atas dasar keyakinan itu, maka HMI
sebagai organisasi mahasiswa harus pula bersifat independen. Penegasan ini
dirumuskan dalam pasal 6 Anggaran Dasar HMI yang mengemukakan secara tersurat
bahwa "HMI adalah organisasi yang bersifat independen"sifat dan watak
independen bagi HMI adalah merupakan hak azasi yang pertama.
Untuk lebih memahani esensi
independen HMI, maka harus juga ditinjau secara psikologis keberadaan pemuda
mahasiswa Islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam yakni dengan
memahami status dan fungsi dari HMI.
B. STATUS DAN FUNGSI HMI
Status HMI sebagai organisasi
mahasiswa memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan spesialisasi tugas
inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus
diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas)
dalam mewujudkan (final goal). Dalam melaksanakan spesialisasi
tugas tersebut, karena HMI sebagai organisasi mahasiswa maka sifat serta watak
mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam
masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang
benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda muda terdidik
harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa
depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan
masyarakat berperan sebagai "kekuatan moral" atau moral
forces yang senantiasa melaksanakan fungsi "social control".
Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari
kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan
dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka
penghikmatan terhadap spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya
HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh sikap independen.
Mahasiswa, setelah sarjana adalah
unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain yang harus
diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan
masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta
pembaharuan masyarakat atau "agent of social change". Kelompok
mahasiswa dengan sikap dan watak tersebut di atas adalah merupakan kelompok
elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima
estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat yang akan datang.
Oleh sebab itu fungsi kaderisasi mahasiswa sebenarnya merupakan fungsi yang
paling pokok. Sebagai generasi yang harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi
perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya di masa
depan maka kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif
dinamis dan tidak statis. Mereka bukan kelompok tradisionalis akan tetapi
sebagai "duta-duta pembaharuan sosial" dalam pengertian harus menghendaki
perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai
kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu
senantiasa menyatakan dirinya serta dikemukakan melalui pembuktian di alam
semesta dan dalam sejarah umat manusia. Karenanya untuk menemukan kebenaran
demi mereka yang beradab bagi kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus
memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai kebenaran dan berorientasi
pada masa depan dengan bertolak dari kebenaran Illahi. Untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan beradaban
bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara maka setiap kadernya harus
mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam.
Watak dan sifat mahasiswa seperti
tersebut diatas mewarnai dan memberi ciri HMI sebagai organisasi mahasiswa yang
bersifat independen. Status yang demikian telah memberi petunjuk akan
spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan
ketegasan agar HMI dapat melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kader,
melalui aktifitas fungsi kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk
kader yang berkualitas dan komit dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya
menjadi wadah organisasi kader yang mendorong dan memberikan kesempatan
berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas seperti ini agar
dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (hanief)
maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya
bagi kehidupan bangsa dan negaranya.
C. SIFAT INDEPENDENSI HMI
Watak independen HMI adalah sifat
organisasi secara etis merupakan karakter dan kepribadian kader HMI.
Implementasinya harus terwujud di dalam bentuk pola pikir, pola pikir dan pola
laku setiap kader HMI baik dalam dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun
dalam melaksanakan "Hakekat dan Mission" organisasi HMI
dalam kiprah hidup berorganisasi bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Watak
independen HMI yang tercermin secara etis dalam pola pikir pola sikap dan pola
laku setiap kader HMI akan membentuk "Independensi etis HMI",
sementara watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di
dalam kiprah organisasi HMI akan membentuk "Independensi organisatoris HMI".
Independensi etis adalah sifat
independensi secara etis yang pada hakekatnya merupakan sifat yang sesuai
dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat manusia berkeinginan suci
dan secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). Watak dan
kepribadian kader sesuai dengan fitrahnya akan membuat kader HMI selalu setia
pada hati nuraninya yang senantiasa memancarkan keinginan pada kebaikan,
kesucian dan kebenaran adalah ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA. Dengan demikian
melaksanakan independensi etis bagi setiap kader HMI berarti pengaktualisasian
dinamika berpikir dan bersikap dan berprilaku baik "hablumminallah"
maupun dalam "hablumminannas" hanya tunduk dan patuh dengan
kebenaran.
Aplikasi dari dinamika berpikir dan
berprilaku secara keseluruhan merupakan watak azasi kader HMI dan
teraktualisasi secara riil melalui, watak dan kepribadiaan serta sikap-sikap
yang :
· Cenderung
kepada kebenaran (hanief)
· Bebas
terbuka dan merdeka
· Obyektif
rasional dan kritis
· Progresif
dan dinamis
· Demokratis,
jujur dan adil
Independensi organisatoris adalah
watak independensi HMI yang teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah
dinamika HMI baik dalam kehidupan intern organisasi maupun dalam kehidupan
masyarakat berbangsa dan bernegara.
Independensi organisatoris
diartikan bahwa dalam keutuhan kehidupan nasional HMI secara organisatoris
senantiasa melakukan partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional
agar perjuangan bangsa dan segala usaha pembangunan demi mencapai cita-cita
semakin hari semakin terwujud. Dalam melakukan partisipasi partisipasi aktif,
kontruktif, korektif dan konstitusional tersebut secara organisasi HMI hanya
tunduk serta komit pada prinsip-prinsip kebenaran dan obyektifitas.
Dalam melaksanakan dinamika
organisasi, HMI secara organisatoris tidak pernah "committed"
dengan kepentingan pihak manapun ataupun kelompok dan golongan maupun kecuali
tunduk dan terikat pada kepentingan kebenaran dan obyektifitas kejujuran dan
keadilan.
Agar secara organisatoris HMI dapat
melakukan dan menjalankan prinsip-prinsip independensi organisatorisnya, maka
HMI dituntut untuk mengembangkan "kepemimpinan kuantitatif" serta
berjiwa independen sehingga perkembangan, pertumbuhan dan kebijaksanaan
organisasi mampu diemban selaras dengan hakikat independensi HMI. Untuk itu HMI
harus mampu menciptakan kondisi yang baik dan mantap bagi pertumbuhan dan
perkembangan kualitas-kualitas kader HMI. Dalam rangka menjalin tegaknya
"prinsip-prinsip independensi HMI" maka implementasi independensi HMI
kepada anggota adalah sebagai berikut :
· Anggota-anggota
HMI terutama aktifitasnya dalam melaksanakan tugasnya harus tunduk kepada
ketentuan-ketentuan organisasi serta membawa program perjuangan HMI. Oleh
karena itu tidak diperkenankan melakukan kegiatan-kegiatan dengan membawa
organisasi atas kehendak pihak luar manapun juga.
· Mereka
tidak dibenarkan mengadakan komitmen-komitmen dengan bentuk apapun dengan pihak
luar HMI selain segala sesuatu yang telah diputuskan secara organisatoris.
· Alumni
HMI senantiasa diharapkan untuk aktif berjuang menruskan dan mengembangkan
watak independensi etis dimanapun mereka berada dan berfungsi sesuai dengan
minat dan potensi dalam rangka membawa hakikat dan mission HMI. Dan
menganjurkan serta mendorong alumni untuk menyalurkan aspirasi kualitatifnya
secara tepat dan melalui semua jalur pembaktian baik jalur organisasi
profesional kewiraswastaan, lembaga-lembaga sosial, wadah aspirasi poilitik
lembaga pemerintahan ataupun jalur-jalur lainnya yang semata-mata hanya karena
hak dan tanggung jawabnya dalam rangka merealisir kehidupan masyarakat adil
makmur yang diridhoi Allah SWT. Dalam menjalankan garis independen HMI dengan
ketentuan-ketentuan tersebut di atas, pertimbangan HMI semata-mata adalah untuk
memelihara mengembangkan anggota serta peranan HMI dalam rangka ikut
bertanggung jawab terhadap negara dan bangsa. Karenanya menjadi dasar dan
kriteria setiap sikap HMI semata-mata adalah kepentingan nasional bukan
kepentingan golongan atau partai dan pihak penguasa sekalipun. Bersikap
independen berarti sanggup berpikir dan berbuat sendiri dengan menempuh resiko.
Ini adalah suatu konsekuensi atau sikap pemuda. Mahasiswa yang kritis terhadap
masa kini dan kemampuan dirinya untuk sanggup mewarisi hari depan bangsa dan
negara.
D. PERANAN INDEPENSI HMI DI MASA MENDATANG
Dalam suatu negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia ini maka tidak ada suatu investasi yang lebih
besar dan lebih berarti dari pada investasi manusia (human investment).
Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir tujuan, bahwa investasi manusia kemudian
akan dihasilkan HMI adalah manusia yang berkualitas ilmu dan iman yang mampu
melaksanakan tugas-tugas manusia yang akan menjamin adanya suatu kehidupan yang
sejahtera material dan spiritual adil makmur serta bahagia.
Fungsi kekaderan HMI dengan tujuan
terbinanya manusia yang berilmu, beriman dan berperikemanusiaan seperti
tersebut di atas maka setiap anggota HMI dimasa datang akan menduduki jabatan
dan fungsi pimpinan yang sesuai dengan bakat dan profesinya.
Oleh karena itu hari depan HMI
adalah luas dan gemilang sesuai status fungsi dan perannya dimasa kini dan masa
mendatang menuntut kita pada masa kini untuk benar-benar dapat mempersiapkan
diri dalam menyongsong hari depan HMI yang gemilang.
Dengan sifat dan garis independen
yang menjadi watak organisasi berarti HMI harus mampu mencari, memilih dan
menempuh jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran. Maka konsekuensinya adalah
bentuk aktifitas fungsionaris dan kader-kader HMI harus berkualitas sebagaimana
digambarkan dalam kualitas insan cita HMI. Soal mutu dan kualitas adalan
konsekuensi logis dalam garis independen HMI harus disadari oleh setiap
pimpinan dan seluruh anggota-anggotanya adalah suatu modal dan dorongan yang
besar untuk selalu meningkatkan mutu kader-kader HMI sehingga mampu berperan
aktif pada masa yang akan datang.
Wabilahittaufiq wal hidayah
Nilai–Nilai
Dasar Perjuangan
|
|
I. Dasar-dasar
Kepercayaan
Manusia memerlukan satu bentuk
kepercayaan. Kepercayan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup
budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat
terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang
sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara kepercayan harus pula
benar. Menganut kepercayaan yang salah atau dengan cara yang salah bukan saja
tidak dikehendaki, akan tetapi juga berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu
diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang
beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk-bentuk kepercayaan itu
berbeda satu dengan yang lainnya, maka sudah tentu ada dua kemungkinan:
kesemuanya itu salah atau salah satu saja di antaranya yang benar. Di samping
itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran
dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian kenyataan
menun-jukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu
kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan
mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi
untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai,
maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat
perkembangan peradaban-peradaban dan kemajuan manusia. Di sinilah terdapat
kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tata nilai guna menopang
peradaban manusia, tetapi pula nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang
membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya,
guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia
meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan
menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh merupakan kebenaran. Maka
satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri.
Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak
adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian
(syahadat) Islam yang kesatu: Tidak ada Tuhan selain Allah mengandung gabungan
antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “tidak ada Tuhan”, meniadakan
segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “selain Allah”, memperkecualikan
kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu, dimaksudkan agar manusia
membebaskan diri dari segala belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan
segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya
tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu
berarti tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, pencipta segala hal yang ada
termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada secara
mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat
ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik bersifat intuitif, ilmiah,
historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan dan
kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada
pengertian hakekat Tuhan sebenarnya. Namun demi kelengkapan
kepercayaan kepada Tuhan , manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang
ketuhanan. Dan tata nilai yang lebih tinggi namun tidak bertentangan
dengan insting dan indera.
Sesuatu yang diperlukan itu
adalah wahyu yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan
sendiri Kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan
sampai ke tingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian
juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada
orang tertentu yang memenuhi syarat yang dipilih Tuhan sendiri yaitu para Nabi
dan rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para rasul itu untuk menyampaikan
kepada seluruh manusia. Para rasul dan nabi itu telah lewat dalam sejarah,
sejak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa atau Yesus anak Maryam sampai kepada
Muhammad SAW. Muhammad adalah rasul penghabisan, jadi tiada rasul lagi
sesudahnya. Jadi para nabi dan rasul itu adalah manusia biasa-biasa dengan
kelebihan mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada
Nabi Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci al-Quran. Selain
berarti “bacaan”, kata al-Quran juga berarti kumpulan atau kompilasi dari
segala keterangan. Sekalipun secara garis besar, al-Quran merupakan suatu
kompendium, yang singkat namun meliputi mengandung keterangan-keterangan
mengenai segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia, sampai pada
hal-hal ghaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain.
Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang
Maha Esa dan ajaran-ajaranNya, manusia harus berpegang pada ayat al-Quran,
dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad. Maka kalimat kesaksian
yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut umat manusia,
yaitu bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Ketuhanan Yang Maha Esa dan
ajaran-ajaranNya yang merupakan garis-garis besar jalan hidup yang mesti
diikuti manusia. Tentang Tuhan antara lain: Surat al-Ikhlash menerangkan secara
singkat: “Katakanlah; Dia itu Allah Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan
tempat menaruh harapan”. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Sayang, Maha
Pengampun dan seterusnya dari segala sifat kesempurnaan yang selayak-layaknya
bagi yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah
Yang Pertama dan Yang Penghabisan, Yang Lahir dan Yang Bathin, dan “Kemana pun
manusia berpaling maka di sanalah wajah Tuhan”. “Dan Dia itu bersama kamu
kemanapun kamu berada”. Jadi Tuhan tidak terikat dengan ruang dan waktu.
Sebagai “Yang Pertama dan Yang
Penghabisan”, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada,
termasuk tata nilai. Artinya: sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada
kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Ia pun sekaligus menuju kepada
kebenaran dan mengarah kepada “Persetujuan” atau ridloNya. Inilah kesatuan
antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (tuhan sebagai tujuan hidup yang
benar diterangkan di bagian lain).
Tuhan menciptakan alam raya ini
dengan sebenarnya, dan juga mengaturnya dengan pasti. Oleh karena itu alam
mempunyai eksistensi yang riil dan objektif, serta berjalan mengikuti
hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan dari sebaik-baik pencipta, maka
alam mengandung kebaikan pada diriNya dan teratur secara harmonis. Nilai ini
diciptakan untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya. Maka alam
dapat dan harus dijadikan onjek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan
(sunnah Allah) yang berlaku di dalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam
sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri.
Jika kenyataan alam ini berbeda
dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam itu
tidak mempunyai konsistensi yang riil dan objektif, melainkan semua palsu dan
atau maya dan sekedar emanasi atau pancaran dunia lain yang kongkrit, yaitu
idea atau Nirwana. Juga bukan seperti dikatakan filsafat agnosticisme yang
mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat
materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan objektif
sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa
alam ada dengan sendirinya. Peniadaan Pencipta atau peniadaan Tuhan adalah
sudut dari materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan
makhlukNya yang tertinggi. Sebagai makhluk tertinggi manusia dijadikan khalifah
atau wakil Tuhan di bumi. Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk
kemakmurkannya. Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia.
Manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala perbuatannya di dunia.
Perbuatan manusia di dunia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut
sejarah. Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau
“rajanya”
Sebenarnya terdapat hukum-hukum
Tuhan yang pasti (sunnah Allah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya
hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara
otomatis tunduk terhadap sunnatullah itu, manusia karena kesadaran dan
kemampuannya untuk mengadakan pilihan tidak terlalu tunduk kepada sunnatullah
itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan tidak
terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri. Ketidakpatuhan itu
disebabkan sikap menentang atau karena kebodohannya. Hukum dasar alami dari
segala yang ada inilah “Perobahan dan perkembangan”, sebab: segala sesuatu ini
adalah ciptaan Tuhan dan pengembanganNya dalam suatu proses yang tiada
henti-hentinya. Segala sesuatu ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan.
Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan
tujuan segala sesuatu. Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat
sejalan dengan arus perkembangan itu menuju kepada kebenaran. Hal itu berarti
bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus
mengetahui jalan menuju kebenaran itu. Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu
saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan
kebenaranya.
Oleh sebab itu hidup yang baik
adalah yang disemangati oleh iman dan ilmu. Bidang iman dan pencabangannya
menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi
wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia
ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan ilmu tentang manusia (sejarah). Untuk
memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia
harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan
kepadanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana
diterangkan di muka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif
sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai tuhan dan tuhan pun untuk sebagian
atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap mempertuhankan dan mensucikan
Tuhan haruslah hanya ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang Maha Esa.
Ini disebut al-Tawhid dan lawannya
disebut as-syirk, artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya
atau sebagian. Maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan
peradaban, kemanusiaan yang menuju kebenaran.
Sesudah sejarah atau kehidupan
duniawi ini ialah hari kiamat. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang
tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat
disebut juga hari agama, atau yaum al-din, dimana Tuhan menjadi
satu-satunya Pemilik dan Raja. Disitu tidak lagi terdapat kehidu-pan historis
seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada ialah
pertanggungjawaban individual manusia yang bersifat mutlak dihadapan Illahi
atau segala perbuatannya dahulu didalam sejarah. Selanjutnya kiamat merupakan
“Hari Agama”, maka tidak ada yang mungkin kita ketahui selain dari yang
diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya/kehidupan
akhirat yang non historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan
mengetahui kejadian-kejadian.
II.Pengertian-pengertian
Dasar tentang Kemanusiaan
Telah disebutkan di muka, bahwa
manusia adalah puncak ciptaan, merupakan makhluk yang tertinggi dan adalah
wakil Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia bukan hanya
beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan
susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia
saja yaitu fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati
cenderung kepada kebenaran (hanief).
Dhamier atau hati nurani adalah
pemancar keinginan kepada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup
manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa. Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang
secara asasi dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan
memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia
sejati.
Kehidupan manusia dinyatakan dalam
kerja atau amal perbuatannya. Nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup dan
berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliyah yang kongkret.
Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal
perbuatan yang berperikemanusiaan (fitri sesuai dengan tuntutan hati
nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya didalam dan melalui amal
perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jahat) ia menderita kepedihan. Hidup
yang penuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna,
yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan
kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup
berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam
kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan ke arah kemajuan-kemajuan baik yang
mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang
seluas-luasnya. Dia diliputi semangat mencari kebaikan, keindahan, dan
kebenaran. Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan
perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan
berkebudayaan. Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom,
hikmah). Dia berpengalaman luas, berfikir bebas, berpandangan lapang dan
terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya. Dia adalah
manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf.
Keutamaan ini merupakan kekayaan kemanusiaan yang menjadi milik dari
pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang
lebih baik.
Seorang manusia sejati (insan
kamil) ialah yang kegiatan mental dan psikisnya merupakan suatu keseluruhan.
Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan
dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah
kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian,
merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak perorangannya dan
mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal
perbedaan antara kehidupan individual dan kehidupan komunal, tidak membedakan
antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat, hak dan kewajiban serta
kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama umat
manusia.
Baginya tidak ada pembagian dua
(dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan jasmani, pribadi dan
masyarakat, agama dan politik ataupun dunia akhirat. Kesemuanya
dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya,
yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran. Dia adalah seorang yang
ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya
sendiri dan merupakan pancaran langsung dari kecenderungannya yang suci dan
murni. Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu
sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain
yang nilainya lebih rendah (pamrih). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai
kemanusiaan pelakunya dan memberikannya kebahagiaan. Hal itu akan menghilangkan
sebab-sebab suatu jenis pekerjaan yang ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi
kegiatan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup
manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keihlasan dan keikhlasan selalu
menimbulkan kebahagiaan. Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan
dari hati nurani yang hanief atau suci.
III. Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan
Keharusan Universal (Takdir)
Keikhlasan yang insani itu tidak
ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam pengertian kerja sukarela tanpa
paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan dalam pengertian
kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan sejalan dengan
hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan manusia yang
berasal dari perkembangan tak terkekang dari kemauan sebaliknya. Keikhlasan
adalah gambaran terpenting dari kehidupan manusia sejati. Kehidupan sekarang di
dunia dan abadi (eksternal) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akhirat.
Dalam pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus
dipikul secara individual, dan komunal sekaligus. Sedangkan dalam aspek kedua
manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, melainkan hanya menerima akibat
baik dan buruknya dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akhirat
tidak terdapat pertanggungjawaban bersama tetapi hanya ada pertanggungjawaban
perseorangan (mutlak). Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup di tengah
alam dan mensyarakat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.
Jadi individualitas adalah
pernyataan asasi yang pertama dan terakhir dari kemanusiaan, serta letak
kebenarannya dari nilai kemanusiaannya itu sendiri. Karena individu adalah
penanggungjawab terakhir dan mutlak dari awal perbuatannya, maka kemerdekaan
pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi individualitas hanyalah
pernyataan yang asasi dan primer saja dari kemanusiaan. Kenyataan lain,
sekalipun bersifat sekunder ialah individu hidup dalam suatu hubungan tertentu
dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup di tengah alam dan sebagai makhluk
sosial hidup di tengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari
keseluruhan alam yang merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itu kemerdekaan
harus diciptakan untuk pribadi dalam konteks hidup di tengah dan masyarakat.
Sekalipun kemerdekaan adalah esensi dari kemanusiaan tidak berarti
bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas bagi
kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya
hukum-hukum yang pasti dan tetap yang menguasai alam. Hukum yang menguasai
benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri yang tidak tunduk dan tidak pula
bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya
“keharusan universal” atau “kepastian hukum” dan takdir. Jadi kalau kemerdekaan
pribadi diwujudkan dalam konteks hidup di tengah alam dan masyarakat di mana
terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukkan, maka apakah bentuk
hubungan yang harus dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah
tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap
kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang
diartikan sebagai penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti
perbudakan. Pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan
akan adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif
dari kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan
kreatif manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan
ikhtiar, artinya pilihan merdeka.
Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan
dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar merupakan
usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi banyak
segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang
lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa
adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, menusia menjadi tidak merdeka
dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan pertanggungjawaban pribadi
dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merobah
dunia dan dirinya sendiri. Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau
takdir namun manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan
menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
Manusia tidak dapat berbicara
mengenai takdir suatu kejadian sebelum itu menjadi kenyataan. Maka percaya
kepada takdir akan membawa keseimbangan, jiwa tidak terlalu berputus asa karena
suatu kegagalan dan tidak pula terlalu membanggakan diri karena suatu
kemujuran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada diri sendiri,
melainkan juga kepada keharusan universal itu.
IV. Ketuhanan
Yang Maha Esa dan Kemanusiaan
Telah jelas bahwa hubungan yang
benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan
penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhlasan dan
kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup dengan segala
kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk kepada
suatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti
tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan berarti
pengabdian kepadaNya.
Jadi kebenaran-kebenaran menjadi
tujuan hidup, apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka
tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak
sebagai tujuan dan tempat menundukan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak
itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak dari hidup itu ada. Karena
sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran
itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan bahasa dan
kulturil, kita sebut kebenaran mutlak itu Tuhan. Kemudian sesuai dengan uraian
Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah. Karena
kemutlakanNya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran. Maka Dia adalah Yang
Maha Benar. Setiap pikiran Yang Maha Benar adalah pada hakekatnya pikiran
tentang Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu seorang manusia merdeka ialah yang
berketuhanan Yang Maha Esa, Keikhlasan tiada lain ialah kegiatan yang dilakukan
semata-mata bertujuan kepada Tuhan Yang Maha Esa., yaitu kebenaran mutlak, guna
memperoleh persetujuan atau “ridha” dariNya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi
karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan
semata-mata. Hal itu berarti bahwa segala bentuk kegiatan hidup dilakukan
hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung di dalam guna mendapatkan
persetujuan atau ridha kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan “Karena Allah”
itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan.
Kata iman berarti percaya dalam hal
ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat
pengabidian diri kepadaNya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan
itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Pelakunya disebut muslim. Tidak lagi diperbudak oleh sesama
manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah
manusia yang merdeka dan menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semangat
tauhid (memutuskan pengabdia hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa) menimbulkan
kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan
bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid
adalah manusia sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal
batas. Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya dari keseluruhan
(totalitas) punya kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam
arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati
kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan tidak selaras
dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality), itu antara lain
ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan
duniawi, antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya,
anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri membela kemanusiaan
seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan
kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human
totality) yang homogen harmonis pada dirinya sendiri: jadi berlawanan
dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakekat hidup adalah
amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum
menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata. Kecintaan kepada
Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya
memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan
masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa
kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia “amal saleh” (harfiah;
pekerjaan selaras dalam hal ini selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran
langsung dari iman. Jadi Ketuhanan Yang Maha Esa memancar dalam prikemanusiaan.
Sebaliknya karena kemanusiaan adalah lanjutan kecintaan kepada kebenaran, maka
tidak ada peri kemanusiaan tanpa ketuhanan Yang Maha Esa. Peri kemanusiaan
tanpa ketuhanan adalah tidak sejati. Oleh karena itu semangat ketuhanan Yang
Maha Esa dan semangat mencari Ridho dariNya adalah dasar peradaban yang benar
dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan
peradaban.
Syirik merupakan kebalikan dari
tauhid, secara harfiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada
Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain
kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang
mengadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada
kemanusiaan. Pada hakekatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena
syirik. Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motive
yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan
pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya. Dia bekerja bukan karena nilai
pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan
kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
“Musyrik” adalah pelaku dari
syirik. Seorang yang menghambakan diri kepada selain Tuhan baik manusia maupun
alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi
setingkat dengan Tuhan. Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana
dengan tiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sama
atau setingkat dengan Tuhan. Kedua pelaku itu merupakan pemnentang terhadap
kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Maka sikap
berkemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada
tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (jwajar) ialah yang memandang manusia
tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepadaNya. Dia selalu menyimpn
i’tikad baik dan lebih baik (ihsan), maka kebutuhan menimbulkan sikap yang adil
dan baik kepada manusia.
V.
Individu dan Masyarakat
Telah diterangkan dimuka, bahwa
pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya, dan bahwa kemerdekaan
pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga
dari kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu
bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai makhluk sosial,
manusia tidak mungkin memenuhi kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah
sesamanya dalam bentuk hubungan-hubungan tertentu. Maka dalam masyarakat itulah
kemerdekan asasi diwujudkan. Tetapi justru karena adanya kemerdekaan pribadi
itu maka timbul perbedaan-perbedan antara suatu pribadi dengan lainnya.
Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri, sebab
kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial dan
kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda. Pemenuhan suatu bidang
kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya
oleh sebagian anggotanya. Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan
kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi
kesempatan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang
sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya. Namun inilah kontradiksi yang ada
pada manusia dia adalah makhluk yang sempurna dengan kecerdasan dan
kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama
ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dengan keinginannya yang terbatas
dibawah sadar yang jika dilakukn pasti merugikan orang lain. Keinginan tak
terbatas sebgai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain
(kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu. Ancaman
atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan
pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka
selain kemerdekaan, persamaan antara hak sesama manusia adalah esensi
kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi
kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya dipunyai satu orang, sedangkan
untuk lebih satu orang kemerdekaan tak terbatas tidak dapat dilaksanakan dalam
waktu yang bersamaan, Kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang
lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan
kepada pihak yang kuat atas pihak yang lemah (perbudakan dalam segala
bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan keadilan. kemerdekaan dan
keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia
terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya,
sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling
menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia.
Sejarah dan perkembangannya
bukanlah suatu yang tidak dirobah. Hubungan yang benar antara manusia dan
sejarah bukanlah penyerahan pasif, tetapi sejarah ditentukan oleh manusia
sendiri. Tanpa pengertian ini azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala (akibat
baik) bagi suatu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia. Manusia merasakan
akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiarnya dalam hidup ini (dalam
sejarah) dan dalam hidup kemudian (sesudah sejarah). Semakin seseorang
bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang
terus menerus akan tujuannya dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati
tujuan. Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya
dapat sepenuhnya dinyatakan–jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja untuk
mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk memperbaiki hubungan sesama manusia
dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong royong ini ialah kesetiakawanan
dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan
kehormatan bagi setiap orang.
VI. Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Telah kita
bicarakan tentang hubungan antara individu dan masyarrakat dimana kemerdekaan
dan pembatasan kemerdekaan saling bergantung, dan dimana perbaikan kondisi
masyarakat tergantung kepada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya.
Jika kemerdekan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak
terbatas), maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan
bebas segala keinginan pribadinya. Akibatnya adalah pertarungan antara
keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dan kekacauan atau anarchi,
sudah barang tentu hal itu menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusiaan.
Sebab itu harus ditegakkan keadilan dalam masyarakat. Siapakah yang harus
menegakkan keadilan dalam masyarakat, sudah pasti adalah masyarakat sendiri,
tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya kelompok dalam masyarakat yang karena
kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan
keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan
serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan.
Kualitas
terpenting yang harus dimiliki, rasa kemanusiaan yang tinggi, sebagai pancaran
dari kecintaannya yang terbatas kepada Tuhan. Disamping itu diperlukan
kecakapan yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pemimpin masyarakat.
Memimpin ialah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak
asasinya dan dalam waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan
martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadaran akan tanggung jawab
sosial.
“Negara” adalah
bentuk masyarakat yang terpenting, dan “pemerintah” adalah susunan pimpinan
masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama
berkewajiban menegakkan keadilan. Maksud semula dan fundamental dari
didirikannya negara dan pemerintahan ialah guna melindungi manusia yang menjadi
warga negaranya dari kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri
sebagai manusia, sebaliknya setiap orang harus mengambil bagian yang bertanggung
jawab dalam masalah-masalah negara atas dasar persamaan yang diperoleh melalui
demokrasi.
Pada dasarnya
masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada di dalamnya haruslah
memerintah dan memimpin diri sendiri. Oleh karena itu pemerintah haruslah
merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari kekuatan masyarakat sendiri.
Pemerintah haruslah “demokratis”, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, menjalankan kebijaksanaannya atas persetujuan rakyat melalui musyawarah
dan dimana rasa keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu. Kekuatan
yang sebenarnya dalam negara ada di tangan rakyat, dan pemerintah harus
bertanggung jawab kepada rakyat.
Menegakkan
keadilan mencakup penguasaan keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan
pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah kewajiban dari negara
sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip
kegotong-royongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keasilan adalah
amanat rakyat kepada pemerintah yang mesti dilaksanakan. Ketaatan rakyat pada
pemerintah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (kebenaran mutlak).
Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan,
kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perwujudan menegakkan
keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang
ekonomi atau pembagian kekayaan di antara anggota masyarakat. Keadilan menuntut
agar setiap orang dapat memperoleh bagian yang wajar dari kekayaan atau rezeki.
Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan
perkembangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari
pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara
pertumbuhan kekuatan produksi di satu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh
golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa di lain pihak. Karena
kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara
kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya apabila sedah
mencapai batas maksimal pertentangan golongan itu akan menghancurkan
sendi-sendi tatanan sosial dan membinaskan kemanusiaan dan peradaban.
Dalam masyarakat
yang tidak adil, kekayaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan
proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukan adanya
perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun
kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan
adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya
menjadi pelaku dari kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran
atau korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran
kezaliman, orang-orang miskin berada di pihak yang benar. Pertentangan antara
kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dengan
yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menang terhadap kebatilan, maka
pertentang itu akan disudahi dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin,
kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam masyarakat.
Kejahatan dalam
bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh “kapitalisme”. Dengan
kepitalisme seseorang dapat mudah memeras orang-orang yang berjuang
mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara
tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerja dan hidup
kepada mereka. Oleh karena itu menegakkan keadilan mencaku pemberantasan
kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan kepada sekelompok kecil
masyarakat. Sesudah syirik kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah
penumpukan harta kekayaan beserta penggunaannya yang tidak benar, menyimpang
dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan. Maka menegakan keadilan
inilah membimbing manusia kearah tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap
orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat
“amar ma’ruf” dan pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan
kepada manusia, kepada kebenaran asasi dan rasa kemanusiaan “nahi mungkar” .Dengan
perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi atau cara-cara memperoleh,
mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan
kemanusiaan diperbolehkan (yang ma’ruf dihalalkan) sedangkan cara yang
bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang mungkar diharamkan).
Pembagian ekonomi
secara tidak benar itu hanya ada dalam masyarakat yang tidak menjalankan
prinsip ketuhanan Yang Maha Esa, dalam hal ini pengakuan berketuhanan Yang Maha
Esa tetapi tidak melaksanakannya, sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama
sekali. Sebab nilai-nilai yang dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri
dalam amal perbuatan yang nyata.
Dalam suatu
masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat untuk tunduk
dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda.
Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru dikuasai
oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital ttapi
kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan
memberikan sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan kemiskinan.
Oleh karena itu
menegakkan keadilan buklan saja dengan amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana
diterangkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap
pribadi-pribadi agar tetap menyintai kebenaran dan menyadari secara mendalam
akan adanya Tuhan. “Sembahyang” merupakan pendidikan yang kontinu,
sebagai bentuk formil peringatan kepada Tuhan. Sembahyang yang benar akan
sangat efektif dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia.
Sebagaimana ia mencegah kekejian dan kemungkaran. Jadi sembahyang merupakan
penopang hidup yang benar. Sembahyang menyelesaikan masalah-masalah kehidupan,
termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara intrinsik pada rohani, manusia
yang mendalam, yaitu kebutuhan spiritual berupa pengabdian yang bersifat
mutlak. Pengabdian itu juga tidak tersalurkan secara benar kepada Tuhan Yang
Maha Esa, tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain. Dan membahayakan
kemanusiaan.
Dalam hubungan itu telah terdahulu
keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhaap
kemanusiaan. Dalam masyarakat, yang adil mungkin masih terdapat pembagian
manusia menjadi golongan kaya miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas-batas
kewajaran dan kemanusiaan dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang
mendekat. Hal itu sejalan dengan dibenarkannya pemilikan pribadi (privat
ownership) atas harta kekayaan dan adanya perbedaan-perbedaan tak terhindarkan
dari keemampuan-kemampuan pribadi, fisik maupun mental. Walaupun demikian
usaha-usaha kearah perbaikan dalam pembagian rezeki kearah yang merata tetap
harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir
masalah perbedaan kaya dan miskin. Zakat dikenakan hanya atas harta yang
diperoleh secara benar, sah dan halal saja. Sedang harta yang haram tidak
dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umu guna manfaat bagi rakyat
dengan jalan pentitaan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan
zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibentuk suatu masyarakat yang adil
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh
kekayaan secara haram, dimana penindasan ataas kemanusiaan oleh manusia
dihapus.
Sebagaimana ada ketetapan tentang
bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana mempergunakan
harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika digunakan hak itu
tidak bertentangan. Pemilikan pribadi menjadi batal dan pemerintah berhak
mengajukan konfikasi. Seseorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam
batas-batas tertentu, yaitu dalam batas tidak kurang tetapi juga tidak melebihi
rata-rata atau israf yang bertentangan dengan prikemanusiaan. Sebaliknya
penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat (taqti) merusakan diri sendiri
dalam masyarakat disebabkan membekukan sebagaian dari kekayaan umum yang dapat
digunakan untuk manfaat bersama.
Hal itu semuanya merupakan
kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan.
Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberikan
yang wajar daripadanya. Pemilikan oleh seseorang (secara benar)
hanya bersifat relatif sebagaimana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu
sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki Tuhan, untuk kepentingan umum.
Maka kalau terjadi kemiskinan, orang-orang miskin diberi hak atas bagian harta
orang-orang kaya, terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga. Adalah
kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan
memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup
yang wajar sebagaimana diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya
dapat mengatur hidupnya secara terhormat sesuai dengan keinginan-keinginannya
untuk dapat menerima tanggung jawab atas kegiatan-kegiatannya. Dalam prakteknya
hal itu berarti bahwa pemerintahharus membuka jalan yang mudah dan kesempatan
yang sama kearah pendidikan kecakapan yang wajar, kemerdekaan beribadah
sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.
VII. Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
Dari seluruh
uraian yang telah dikemukakan, dapatlah dikumpulkan dengan pasti bahwa inti
kemanusiaan yang suci ialah iman dan kerja kemanusiaan atau amal saleh. Iman
dalam pengertaian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang
Maha Esa, serta menjadikan satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri
yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada
kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap
prikemanusiaan. Sikap prikemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang
berkesesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah
yang berguna untuk sesamanya. Tetapi bagaimana hal itu harus dilakukan oleh
manusia?
Sebagaimana
setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerak kedepan demikian perjalanan
umat manusia atau sejarah gerak maju kedepan. Maka semua nilai dalam kehidupan
relatif adanya berlaku untuk sesuatu tempat dan sesuatu waktu tertentu.
Demikianlah sesuatu itu berubah, kecuali tujuan akhir dri segala yang ada,
yaitu kebenaran mutlak (Tuhan). Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber
atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan. Oleh karena itu
manusia berikhtiar dan mereka ialah yang bergerak. Gerak itu tidak lain dari
gerak maju ke depan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak statis. Dia bukanlah
seorang tradisionalis, apalagi reaksioner. Dia menghendaki perobahan
terus-menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa
mencari kebenaran-kebenaran selama hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan
dirinya dan ditemukan di dalam alam dari sejarah umat manusia.
Ilmu pengetahuan
adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam
hidupnya, sekalipun relatif, namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak
sajarah yang mesti dilalui oleh umat manusia dalam perjalanan sejarah menuju
kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu
saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar
seluruh alam dan sejarahnya sendiri. Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan
dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan apat
berjalan di atas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikannya kepada kepatuhan
yang tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan iman dan kebenaran ilmu
pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi.
Ilmu pengetahuan
ialah pengetian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia
sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia deangan alam
sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan
masyarakat, guna dapat mengarahkannya pada yang lebih baik. Penguasaan dan
kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang
hukum-hukumnya yang agar dapat menguasai dan menggunakannya bagi kemanusiaan.
Sebab alam tersedia bagi umat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan.
Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kamampuan intelektualitas
atau ratio. Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum
yang tetap. Hukum sejarah yang tetap (sunnatullah untuk sejarah) garis besarnya
ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kamnusiaan fitrinya
dan menemui kehancuran jika menyimpang darinya dengan menuruti hawa nafsu.
Tetapi cara-cara perbaikan hidup hingga terus-menerus maju ke arah yang lebih
baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus
ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan
memperhitungkan masa yang akan datang. Menguasai dan mengarahkan masyarakat
ialah mengganti kaedah-kaedah umumnya dan membimbingnya ke arah kamajuan dan
kebaikan.
VIII. Kesimpulan dan Penutup
Dari seluruh
uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sebagai
berikut:
a) Hidup yang benar dimulai
dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan merdeka serta
kecintaan kepadaNya yaitu taqwa. Iman dan taqwa bukanlah nilai yang statis dan
abstrak. Nilai-nilai itu memancar dengan sendirinya dakam bentuk kerja nyata
bagi kemanusiaan dan amal soleh. Iman tidak memberi apa-apa bagi manusia jika
tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh
untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam berperadaban dan berbudaya.
b) Iman dan taqwa dipelihara dan
diperkuat dengan melakukan ibadat atau pengabdian formil kepada Tuhan. Ibadat
mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang teguh
kepada kebenaran sebagaimana yang dikehendaki oleh hati nurani yang hanief.
Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara ibadat menjadi wewenang penuh
agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat yang terus menerus
kepada Tuhan mentadarkan mansusia akan kedudukannya ditengah alam
dan masyarakar sesamanya. Ia tidak melebihkan sehingga kepada kedudukan Tuhan
dengan merugikan kemanusiaan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan
dirinya sebagai makhluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam
maupun orang lain. Dengan ibadat manusia dididik untuk memiliki
kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah ikhlas yaitu
kemurnian pengabdian kepada kebenaran semata-mata.
c) Kerja kemanusiaan atau amal
soleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yang sungguh-sungguh secara
esensil menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran
ruang maupun waktu yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat
sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia.
Hal itu berarti usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan
masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usah itu
ialah amar ma’ruf, di samping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan
dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum
lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha-usaha kearah
peningkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.
d) Kesadaran dan rasa tanggung
jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan “jihad”, yaitu sikap
hidup berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia
dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan, dan kecintaan kepada Tuhan.
Perjuangan menegakan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran dan
pengorbanan. dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam
masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan
adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh dan kuat. Mereka
terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi, dan oleh
sikap tegas kepada musuh-musuh dan kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan
mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar,
mereka tidak memaksakan kepada orang atau golongan lain.
e) Kerja kemanusiaan atau amal
soleh itumerupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuangan kemanusiaan
berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu manusia
harus mengetahui arah yang benar dari perkembangan peradaban disegala bidang.
Dengan perkataan lain,manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu
pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai
tujuan-nya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa
kebahagiaan bahkan menghancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karuania
Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahuan harus didasari
dengan sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang
kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan di
antaranya yang baik.
f) Dengan demikian tugas
hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu : “beriman, berilmu, dan
beramal”.***
MENUJU PERMADANI
[MENUJU Peradaban Madani]
Madinah
dalam bahasa Arab adalah sama dengan polis dalam bahasa
Yunani. Maka, ketika kaisar Constantin membuat kota baru untuk ibu kota Romawi,
dan ia menemukannya di tepi selat Bosphorus, ia pun memberinya nama
Constantinopolis (Kota Constantin)—yang sekarang menjadi Istanbul. Seandainya
Rasulullah dulu berbahasa Yunani, maka Madinah itu akan memperoleh nama
Prophetopolis, Kota Nabi. Dari polis inilah kemudian terambil
kata-kata politik, sehingga dari perkataan politik itu sendiri sudah tergambar
konsep kehidupan teratur sebuah kota. Karena itu tidak mengherankan jika yang
dilakukan pertama kali oleh Rasulullah adalah mendirikan sebuah negara. Negara
yang didirikan Nabi itu mula-mula adalah sebuah negara kota (city state),
yang kemudian diperluas meliputi seluruh Jazirah Arabia. Kelak bahkan jauh
diperluas lagi oleh para sahabat menjadi suatu imperium dunia dibandingkan
kekaisaran Romawi atau Byzantium dalam zaman keemasannya.
Adapun
perkataan lain untuk peradaban dalam bahasa Arab, selain madânîyah,
ialah hadlârah, yang satu akar kata dengan hâdlir. Hadlârah adalah
konsep kehidupan menetap di suatu kota untuk menciptakan kehidupan yang
teratur, bukan kehidupan nomad atau berpindah-pindah. Hadlârah merupakan
lawan dari badâwah, yang artinya daerah kampung (tetapi bukan
kampung seperti di negeri kita, melainkan kampung di padang pasir, yaitu
orang-orang yang pola kehidupannya berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat
lain; karena itu padang pasir dalam bahasa Arab juga disebut bâdiyah).
Dari kata badâwah itulah diambil perkataan badawi,
yang kemudian menjadi badui, artinya orang kampung dengan konotasi orang yang
tidak begitu terpelajar.
Pandangan
mengenai peradaban inilah yang menjadikan agama Islam, dalam tinjauan
sosiologis, sering disebut sebagai agama yang berorientasi urban. Islam adalah
agama kota, agama kehidupan teratur. Melalui hijrah, Nabi membangun Masyarakat
madani, yang bercirikan egalitarianisme, penghargaan berdasarkan prestasi bukan
prestise, keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan
kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan.
Sebagai
kaum Muslim, penting bagi kita merenungi sebuah cita-cita untuk ikut serta
ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk mewujudkan masyarakat
berperadaban, masyarakat madani, di negeri kita yang tercinta, Republik
Indonesia. Hal ini dikarenakan terbentuknya masyarakat madani merupakan bagian
mutlak dari wujud citacita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Adalah Nabi
Muhammad, Rasulullah Saw. sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke
arah pembentukan masyarakat berperadaban. Setelah belasan tahun berjuang di
kota Makkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberinya petunjuk
untuk hijrah ke Yatsrib, kota wahah atau oase yang subur
sekitar 400 km sebelah utara Makkah. Sesampai di Yatsrib, setelah perjalanan
berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, beliau disambut oleh
penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala‘a ‘l-badr-u
‘alaynâ (Bulan purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair
dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian, setelah
mapan dalam kota hijrah itu, beliau ubah nama Yatsrib menjadi al-Madînah, artinya
“kota”, yang kemudian seringkali dilengkapkan menjadi Madînat al-Nabi (“Madînat-u
‘l-Nabi”), Kota Nabi.
Seperti
dijelaskan sebelumnya, secara konvensional perkataan “madinah” memang
diartikan sebagai “kota”. Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu
mengandung makna “peradaban”. Dalam bahasa Arab “peradaban” dinyatakan dalam
kata-kata “madanîyah” atau “tamaddun”, selain
dalam kata-kata “hadlârah”. Karena itu tindakan Nabi Saw.
mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan
niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukung beliau yang terdiri
dari kaum Muhâjirîn dan kaum Anshâr hendak
mendirikan dan membangun masyarakat beradab.
Tidak lama
setelah menetap di Madinah itulah Nabi Saw. secara konkrit meletakkan
dasar-dasar masyarakat madani, dengan bersama semua unsur penduduk Madinah
menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai
Piagam Madinah (Mitsâq al-Madînah). Dalam dokumen itu umat
manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan
kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial
dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama. Di Madinah itu pula, sebagai
pembelaan kepada masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat
senjata, perang membela diri menghadapi musuh – musuh peradaban. Jika kita
telaah secara mendalam firman Allah yang merupakan deklarasi izin perang kepada
Nabi dan kaum beriman itu, kita akan dapat menangkap apa sebenarnya inti
tatanan sosial yang ditegakkan Nabi atas petunjuk Tuhan:
Diizinkan
berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya; dan sesungguhnya Allah amat Berkuasa untuk menolong mereka.
Yaitu
mereka yang diusir dari kampung halaman mereka secara tidak benar, hanya karena
mereka berkata: “Tuhan kami ialah Allah”. Dan kalaulah Allah tidak menolak
(mengimbangi) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya runtuhlah
biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog dan masjid-znasjid, yang di situ
banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa saja yang
menolong-Nya (membela kebenaran dan keadilan). Sesungguhnya Allah Maha Kuat,
lagi Maha Kuasa.
Yaitu
mereka, yang jika Kami berikan kedudukan di bumi, menegakkan sembahyang serta
menunaikan zakat, dan mereka menyuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat
kejahatan. Dan bagi Allah jualah kesudahan segala perkara (Q., 22:39-41)
Dari firman
deklarasi izin perang kepada Nabi dan kaum beriman itu jelas sekali bahwa
perang dalam masyarakat madani dilakukan karena keperluan harus mempertahankan
diri, melawan dan mengalahkan kezaliman. Perang itu juga dibenarkan dalam
rangka membela agama dan sistem keyakinan, yang intinya ialah kebebasan
menjalankan ibadat kepada Tuhan. Lebih jauh, perang yang diizinkan Tuhan itu
adalah untuk melindungi lembaga-lembaga keagamaan seperti biara, gereja,
sinagog dan masjid (yang dalam lingkungan Asia dapat ditambah dengan kuil,
candi, kelenteng, dan seterusnya), dari kehancuran. Perang sebagai suatu
keterpaksaan yang diizinkan Allah merupakan bagian dari mekanisme pengawasan
dan pengimbangan yang diciptakan Allah untuk menjaga kelestarian hidup manusia.
Seperti dunia sekarang ini yang selamat dari “kiamat nuklir” karena perimbangan
kekuatan nuklir antara negara-negara besar, khususnya Amerika dan Rusia (yang
kemudian masing-masing tidak berani menggunakan senjata nuklirnya – yang
disebut “kemacetan nuklir”), masyarakat pun akan berjalan mulus dan terhindar
dari bencana jika di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan
secara mantap dan terbuka. Dengan memahami prinsip-prinsip itu kita akan juga
dapat memahami prinsip-prinsip masyarakat madani yang dibangun Nabi di Madinah.
Membangun
masyarakat yang berperadaban itulah yang Rasulullah Saw. lakukan selama sepuluh
tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka dan
demokratis, dengan landasan taqwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya.
Taqwa kepada Allah dalam arti semangat Ketuhanan Yang Mahaesa, yang dalam
peristilahan Kitab Suci juga disebut semangat rabbânîyah (Q.,
3:79) atau ribbîyah (Q., 3:146) Inilah habl-un
min-a ‘l-Lâh-i, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup
manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista.
Masyarakat
madani yang dibangun Nabi, oleh Robert N. Bellah, seorang ahli sosiologi agama
terkemuka, disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat
modern, bahkan terlalu modern sehingga, setelah Nabi sendiri wafat, tidak
bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan
prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang
modern seperti dirintis Nabi.
Masyarakat
madani warisan Nabi Saw. yang bercirikan antara lain egalitarianisme,
penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti
keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh
anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan
berdasarkan keturunan, setelah Nabi wafat hanya berlangsung selama tigapuluh
tahun masa khilâfah râsyidah. Sesudah itu, sistem sosial
madani digantikan dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat
kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam, kemudian dikukuhkan dengan sistem
dinasti keturunan atau geneologis. Sistem dinasti geneologis itu tidak dikenal
dalam ajaran Islam. ‘À’isyah, janda Nabi yang disegani karena ilmunya, yang
menjadi tokoh wanita Islam klasik paling berpengaruh dan menjadi guru banyak
sekali pemimpin zaman itu, menamakan sistem dinasti geneologis itu sebagai Hirqalîyah atau
“Hirakliusisme”, mengacu pada Kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu,
seorang tokoh sistem dinasti geneologis.
Begitulah
keadaan dunia Islam, yang terus menerus hanya mengenal sistem dinasti
geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang, di mana sebagian negeri
Muslim menerapkan konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya
yang dipilih. Karena itu justru dalam zaman modern ini mungkin prasarana sosial
dan kultural masyarakat madani yang dahulu tidak ada pada bangsa manapun di
dunia, termasuk bangsa Arab, akan terwujud. Maka kesempatan membangun
masyarakat madani menurut teladan Nabi justru mungkin lebih besar pada saat
sekarang ini.
Berpangkal
dari pandangan hidup bersemangat Ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan
kepada sesama manusia, masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan
keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang pada hukum.
Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan Yang Maha Esa, yang diperintahkan untuk
dilaksanakan kepada yang berhak (Q., 4:58). Dan Nabi Saw. telah memberi teladan
kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Allah itu. Apalagi
Al-Quran juga menegaskan bahwa tugas suci semua nabi ialah menegakkan keadilan
di antara manusia (Q., 10:47).
Juga
ditegaskan bahwa para rasul yang dikirimkan Allah ke tengah umat manusia
dibekali dengan kitab suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan
keadilan itu (Q., 57:25). Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang siapa yang
akan terkena akibatnya. Keadilan juga harus ditegakkan, meskipun mengenai diri
sendiri, kedua orang tua atau sanak keluarga (Q.,4:135). Bahkan terhadap orang
yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu
keadilan itu akan merugikan kita sendiri (Q.,5:8).
Atas
pertimbangan ajaran itulah Nabi Saw. dalam rangka menegakkan masyarakat madani
atau civil society, tidak pernah membedakan antara “orang atas”,
“orang bawah”, atau pun keluarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa
hancurnya bangsa-bangsa di masa dahulu adalah karena jika “orang atas”
melakukan kejahatan dibiarkan, tapi jika “orang bawah” melakukannya pasti
dihukum. Karena itu Nabi juga menegaskan, bahwa seandainya Fathimah, putri
kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan hukum dia sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Masyarakat
berperadaban tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang
dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan
adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepada wawasan
keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan ber-îmân,
percaya, mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu
keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut
tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan kebaikan kepada sesama
manusia itu harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup kebaikan,
seperti dipesankan Allah kepada para rasul, agar mereka “makan dari yang
baik-baik dan berbuat kebajikan” (Q., 23:51).
Ketulusan
ikatan jiwa juga memerlukan sikap yang yakin pada adanya tujuan hidup yang
lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini. Ketulusan
ikatan jiwa itu membutuhkan keyakinan bahwa makna dan hakikat hidup manusia
pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati,
dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa pada
keadilan mengharuskan orang memandang hidup jauh ke depan, tidak menjadi
tawanan keadaan di waktu sekarang dan di tempat ini (dunia) (Q., 7:169).
Tetapi
tegaknya hukum dan keadilan tidak hanya memerlukan komitmen-komitmen pribadi.
Komitmen pribadi, yang menyatakan diri dalam bentuk “iktikad baik”, memang
mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam masyarakat. Sebab,
bukankah masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi-pribadi para anggotanya?
Apalagi terhadap para pemimpin masyarakat atau public figure, maka
kebaikan iktikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan menelusuri masa lalu
sang (calon) pemimpin, baik dirinya sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena
itu di banyak negara seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan
pengalaman hidup yang baik, melalui pengujian, bukan oleh perorangan atau
kelembagaan, tapi oleh masyarakat luas, dalam suasana kebebasan yang menjamin
kejujuran.